BINDU KONAWE - MEDIA INFORMASI

SLOGAN BLOG BINDU KONAWE

<<SELAMAT DATANG DI BINDU KONAWESELAMAT DATANG DI BINDU KONAWE >>

Minggu, 21 Juni 2020

Self Labeling Agama A, B, C, D,...Z Dalam Agama Hindu/Hindu Dharma Di NKRI...?.

Gbr. Ilustrasi Pencarian Identitas Nama Agama
Di Dalam Agama Hindu/Hindu Dharma


Self Labeling Agama A, B, C, D,...Z
Dalam Agama Hindu/Hindu Dharma Di NKRI...?.
Oleh :  I Nengah Sumendra.


Om Swastyastu,
Pandemi Covid-19 menjadikan semuanya berubah, begitulah asumsi awal dengan mensikapi situasi dan kondisi yang terjadi saat ini. Istilah-istilah terkait dengan upaya memutuskan rantai penyebaran Covid-19 pun diberlakukan, seperti lockdown, social distancing, tinggal di rumah (stay home), bekerja dari rumah (work from home) sampai pada normal baru (new normal) yang bertujuan agar semua warga maasyarakat terus dapat waspada dan berdisiplin pada ‘Adaptasi Kebiasaan Baru’ (AKB).  

Perubahan itu seiring adanya kebijakan social / physical distancing yang juga berpengaruh pada pola atau metode baru dalam mengungkapkan ide/gagasan dan hal lainnya melalui jaringan (daring), seperti yang telah merebak yaitu mulai dari rapat, kuliah, ujian proposal (skripsi, tesis, disertasi dan penelitian), ujian (kuliah, skripsi, tesis, dan disertasi ), seminar ilmiah, dan lainnya. Yang paling marak saat ini adalah webinar. Istilah ini merupakan gabungan dua kata, yaitu: web dan seminar. Biasanya seminar dilakukan secara online dan sekaligus dapat ditonton live serta live streaming. Kesemuanya tergantung platform yang dipakai. Kegiatan webinar terutama yang dilakukan perguruan tinggi, jika  dilacak  di mesin pencari internet ditemukan  ribuan hasil baik berupa berita, makalah  maupun youtube dan media sosial lainnya. Kegiatannya pun ada yang bersifat  gratis dan adapula yang berbayar. Pembicaranyapun ada yang lokal, nasional maupun internasional. Ada yang menyediakan e-sertificate ada yang tidak alias free. 

Curhatan dalam tulisan ini bukan untuk membahas tentang pada pola atau metode baru dalam mengungkapkan ide/gagasan dan hal lainnya seperti yang telah disebutkan di atas melalui jaringan (daring), melainkan apa yang menjadi bahasan dan dimensi bahasan yang terjadi melalui daring tersebut, khusus dialog-dialog atau diskusi-diskusi yang berkaitan tema-tema agama dan keagamaan Hindu di Negara Kesatuan Republik Indonesia bagi umat Hindu pada kondisi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) agar dapat lebih produktif, begitu semangat dan harapan dengan dilakukannya daring tersebut.


Para Tokoh-tokoh Hindu pun mulai bermunculan dengan berbekal semangat yang sama untuk kemajuan Hindu, dengan bahasan-bahasan untuk menelisik kendala, tantangan, permasalahan dan solusi yang mungkin dapat ditawarkan dalam daring tersebut untuk sebuah cita-cita yang sama yaitu kemajuan Agama Hindu.

Sebagai Pemeluk Agama Hindu yang hidup di zaman reformasi dan demokrasi yang konon setiap orang bebas mengungkapkan pendapat, maka tidak salah juga sambil belajar berekspresi dan atas semangat itu pula curhatan ini dituangkan dalam bentuk tulisan.

Saat ini mulai ramai dan viral kegiatan webinar yang membahas tema-tema ataupun bahasan Agama dan Keagamaan Hindu, baik itu yang bersentuhan dengan ‘Sraddha Hindu, Tattwa/Filsafat Hindu, Susila, Acara (Upacara/Upakara/Ritual) Hindu, dan Sadhana Hindu, dan lain-lain.

Yang menggugah batin untuk mencurhatkannya lewat tulisan singkat ini, yaitu adanya sebuah Tema Hindu Nusantara dengan Sub. Uraian didalamnya, yaitu  ada upaya dalam pendataan; Asal Etnis/Daerah Hindu Nusantara, Sebutan untuk Nama Tuhan, dan Salam Agama.

Hal ini spintas nampak bagus, namun dicermati lebih jauh, perlu dipertanyakan dimensi semangat pun tujuan dari self labeling itu ?. Mengapa, karena selama ini dalam NKRI Agama yang dilindungi oleh NKRI bagi Warga Negara RI sebagai pemeluk Hinduisme adalah dengan Pelembagaan Agama diberinama “Agama Hindu atau Hindu Dharma”, bukan Hindu Nusantara yang disertai dengan Selflabeling seperti yang dicantumkan dalam flyer atau selembaran hasil webinar itu. Selain itu pula, wiweka yang lebih arif dan bijaksana masih dibutuhkan untuk hal self labeling seperti ini dalam kehidupan Agama dan Keagamaan Hindu secara bersama-sama dalam tatanan bersama pula  dalam ‘Wadah Agama Hindu/Hindu Dharma dengan segala totalitasnya secara lebih komprehensif dan integral, Memangnya mau buat seperti negara bagian, dengan model yaitu “AGAMA HINDU/HINDU DHARMA yang didalamnya ada lagi kumpulan Agama Hindu Nusantara A, B, C, D...Z..?, kenapa sudah seperti Partai Politik saja, semua mau mengangkat bendera...?.  

Menurut curhatan dalam tulisan ini, mensikapi selembaran hasil webinar itu, hal ini spintas nampak bagus dan moderat dengan semangat moderasi di intern sesama Umat Hindu, namun bila keliru mengkemasnya terlebih disertai dengan self labeling seperti itu, maka sendi-sendi yang telah dibangun dalam  struktur dan sistem agama dan keagamaan Hindu oleh PHDI sebagai majelis bisa rapuh kembali. Pengelompokkan seperti itu, atau self labeling yang lainnya akan bisa bergeser sebagai upaya membentuk komunitas agama baru, atau akan menggiring generasi untuk mengingkari semangat dan pesan suci dari Weda, yaitu diantaranya :

Om Sam Gacchadwam Samwadadwam Sam Wo Manamsi Janatam Dewa Bhagam Yatha Purwe Samjanana Upasate Om Samani Wa Akutih Samana Hrdayani Wah Samanam Astu Wo Mano Yatha Wah Susahasati. Om Ano Bhadrah Krattawoyantu Wistawah. Ya Tuhan, Hamba Berkumpul Di Tempat Ini Hendak Bicara Satu Dengan Yang Lain Untuk Menyatukan Pikiran Sebagaimana Halnya Para Dewa Selalu Bersatu. Ya Tuhan, Tuntunlah Kami Agar Sama Dalam Tujuan, Sama Dalam Hati, Bersatu Dalam Pikiran Hingga Dapat Hidup bersama Dalam Sejahtera Dan Bahagia. Ya Tuhan, Semoga Pikiran Yang Baik Datang Dari Segala Penjuru.

“Idanim dharma Pramanyahaa, Vedo khilo dharma mulam, Smrticile ca sadhunam, Acaraccaiwa sadhunam, Atmanastustir eva ca”. “Seluruh pustaka suci Veda (Sruti dan Smrti) adalah sumber pertama dari pada dharma, kemudian juga tatacara perikehidupan orang-orang suci/tingkah laku yang terpuji dari orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda (Sila), lalu adat-istiadat (Acara) dan akhirnya kepuasan batin (Atmanastusti)”.

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya. Sumber hukum Hindu adalah Veda, hal ini ditegaskan dalam Manawadharmasastra XII. 96: “Utpadyante syawante ca ynyato nyani knicit, tänyarwakkalikataya nisphaIinyanrt ni ca”. Semua ajaran yang berbeda dari Veda yang lahir dan akan segera musnah adalah tak bernilai dan palsu karena itu adalah dari zaman modern (Gede Pudja, 2012:741).


Selembaran hasil webinar itu, mengisyaratkan ada upaya untuk menunjukkan identitas dengan sebuah self labeling komunitas dalam Agama Hindu/Hindu Dharma di Indonesia. Curhatan berikutnya berpendapat bawah daring atau webinar dalam tema-tema Agama dan Keagamaan Hindu bila tidak diramu oleh PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu di Indonesia, dimensi bahasan bisa-bisa bias kemana-kemana, pembicaraan pada tataran pendalaman ajaran Hindu sangat baik dan patut ditradisikan sebagai Widya Tula atau Tarka Tattwa Jnana, mengingat hal itu termasuk dharma dan  medote pembinaan Agama Hindu. Namun bilamana sudah masuk ke struktur dan sistem kelembagaan Hindu dalam tatanan bersama, PHDI sebagai majelis harus hadir dalam bingkai rumah bersama. Sekta/parampara/sampradaya, dan self labeling yang lainnya sebagai wujud keluwesan Adikara Weda semestinya bukan untuk menunjukkan indentitasnya secara kelompok, melainkan bagaimana cari solusi untuk membumikan Sraddha, Tattwa dan Filsafat, Susila, Acara dan Sadhana dalam Weda terhadap kelompok penganut Hinduisme itu dalam tatanan rumah bersama sebagai AGAMA HINDU/HINDU DHARMA di NKRI sesuai UUD1945 Pasal 29. Berlomba untuk menyucikan kitab suci Weda sebagai sumber Tertinggi Ajaran Agama Hindu sangat baik, berlomba untuk pendalaman Weda sangat baik, berlomba untuk membesarkan Hindu dalam wadah Agama juga sangat baik. Namun bila semangatnya adalah membesarkan pengikut sekta / parampara  /samradaya, dan identitas kelompok lainnya yang sejenis dengan self labeling A, B, C, D...Z, maka sama halnya menumbuhkan agama dalam agama, faktanya umat Hindu belum semua memahami filosofis satu kesatuan sebuah pohon, realitanya Akar, Pohon, Dahan, Ranting dan Daun dengan pengelompokkan seperti itu justru tidak mengarah pada sebuah pemahaman dan kesadaran seperti filosofis pohon itu. Terusiknya Moderasi di Intern Hindu telah terjadi, dengan Istilah Indianisasi-lah, Balinisasi-lah, dan lain-lain.

Pertanyaan dalam Curhatan pada tulisan ini :

Apakah begitu pentingnya lagi di self labeling dengan Nama Agama A, B, C, D,...Z Dalam Agama Hindu/Hindu Dharma Di NKRI ...?.

Adakah yang dirugikan selama ini dengan Wadah Bersama sebagai Pemeluk Hinduisme dengan NAMA AGAMA HINDU/HINDU DHARMA...?, Sehingga dipandang perlu untuk memunculkan pengelompokkan nama A, B, C, D...Z lagi..?

Sebagai Pemeluk Hindu yang rindu dengan beberapa pesan-pesan Weda yang telah disebutkan di atas, dalam curhatan ini pula dengan kerendahan hati, memohon agar tokoh-tokoh Hindu atau yang ditokohkan wariskanlah kepada kami, agar kami kelak dapat Beradaptasi dengan Kebiasaan Baru sebagai umat dengan Nama “AGAMA HINDU / HINDU DHARMA”.

Bait Sloka Indah, Bhagavadgita, III.21. Yad yad ācarati śreṣṭhas, tat tad evetaro janaḥ sa yat pramāṇaḿ kurute lokas tad anuvartate. Perbuatan apapun yang dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apa pun yang ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia.

Rakyat umum (Umat Hindu) selalu memerlukan pemimpin/tokoh yang dapat mengajar rakyat/umatnya dengan tingkah laku yang praktis. Sri Caitanya mengatakan bahwa seharusnya tingkah laku seorang guru sudah baik bahkan sebelum dia mulai mengajar. Orang yang mengajar dengan cara seperti itu disebut ācārya, atau guru teladan. Karena itu, seorang guru harus mengikuti prinsip-prinsip śastra (Kitab Suci) untuk mengajar orang awam. Seorang guru tidak dapat membuat peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Kitab-kitab Suci yang sudah diwahyukan. Kitab-kitab Suci, misalnya Manusamhita dan lain sebagainya, dianggap buku-buku  baku untuk diikuti oleh masyarakat manusia. Jadi, apa yang diajarkan oleh pemimpin seharusnya berdasarkan prinsip-prinsip śastra-śastra baku seperti itu. Orang yang ingin memperbaiki diri-nya harus mengikuti aturan baku sebagaimana dipraktekkan oleh para guru besar. Bahwa hendaknya seseorang mengikuti langkah-langkah penyembah-penyembah yang mulia, dan itulah cara maju dalam menempuh jalan keinsafan rohani. Seorang rājā , atau pemimpin negara, ayah dan guru di sekolah semua dianggap pemimpin yang wajar bagi rakyat umum yang tidak berdosa. Semua pemimpin tersebut harus memikul tanggung jawab yang besar terhadap bawahan/umat-nya.

Om Santih, Santih, Santih Om

Unaaha, 22 Juni 2020
Om Subhamastu. Pranam,
Seorang Anak di Pojok Negeri (INS)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar