Gbr. Ilustrasi Pencarian Identitas Nama Agama Di Dalam Agama Hindu/Hindu Dharma |
Self Labeling Agama A, B, C, D,...Z
Dalam Agama Hindu/Hindu Dharma Di NKRI...?.
Oleh :
I Nengah Sumendra.
Om Swastyastu,
Pandemi Covid-19 menjadikan semuanya
berubah, begitulah asumsi awal dengan mensikapi situasi dan kondisi yang
terjadi saat ini. Istilah-istilah terkait dengan upaya memutuskan rantai penyebaran
Covid-19 pun diberlakukan, seperti lockdown,
social distancing, tinggal di rumah (stay
home), bekerja dari rumah (work from
home) sampai pada normal baru (new
normal) yang bertujuan agar semua warga maasyarakat terus dapat waspada dan
berdisiplin pada ‘Adaptasi Kebiasaan Baru’ (AKB).
Perubahan itu seiring adanya kebijakan
social / physical distancing yang juga berpengaruh pada pola atau metode baru dalam
mengungkapkan ide/gagasan dan hal lainnya melalui jaringan (daring), seperti
yang telah merebak yaitu mulai dari rapat, kuliah, ujian proposal (skripsi,
tesis, disertasi dan penelitian), ujian (kuliah, skripsi, tesis, dan disertasi ),
seminar ilmiah, dan lainnya. Yang paling marak saat ini adalah webinar. Istilah
ini merupakan gabungan dua kata, yaitu: web dan seminar. Biasanya seminar
dilakukan secara online dan sekaligus dapat ditonton live serta live streaming.
Kesemuanya tergantung platform yang dipakai. Kegiatan webinar terutama yang
dilakukan perguruan tinggi, jika
dilacak di mesin pencari internet
ditemukan ribuan hasil baik berupa berita,
makalah maupun youtube dan media sosial
lainnya. Kegiatannya pun ada yang bersifat
gratis dan adapula yang berbayar. Pembicaranyapun ada yang lokal,
nasional maupun internasional. Ada yang menyediakan e-sertificate ada yang
tidak alias free.
Curhatan dalam tulisan ini bukan untuk
membahas tentang pada pola atau metode baru dalam mengungkapkan ide/gagasan dan hal lainnya seperti yang telah disebutkan di atas melalui jaringan (daring), melainkan apa yang menjadi
bahasan dan dimensi bahasan yang terjadi melalui daring tersebut, khusus dialog-dialog atau diskusi-diskusi yang
berkaitan tema-tema agama dan keagamaan Hindu di Negara Kesatuan Republik
Indonesia bagi umat Hindu pada kondisi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB) agar dapat
lebih produktif, begitu semangat dan harapan dengan dilakukannya daring
tersebut.
Para Tokoh-tokoh Hindu pun mulai
bermunculan dengan berbekal semangat yang sama untuk kemajuan Hindu, dengan
bahasan-bahasan untuk menelisik kendala, tantangan, permasalahan dan solusi
yang mungkin dapat ditawarkan dalam daring tersebut untuk sebuah cita-cita yang
sama yaitu kemajuan Agama Hindu.
Sebagai Pemeluk Agama Hindu yang hidup
di zaman reformasi dan demokrasi yang konon setiap orang bebas mengungkapkan
pendapat, maka tidak salah juga sambil belajar berekspresi dan atas semangat
itu pula curhatan ini dituangkan dalam bentuk tulisan.
Saat ini mulai ramai dan viral kegiatan
webinar yang membahas tema-tema ataupun bahasan Agama dan Keagamaan Hindu, baik
itu yang bersentuhan dengan ‘Sraddha
Hindu, Tattwa/Filsafat Hindu, Susila, Acara (Upacara/Upakara/Ritual)
Hindu, dan Sadhana Hindu, dan
lain-lain.
Yang menggugah batin untuk
mencurhatkannya lewat tulisan singkat ini, yaitu adanya sebuah Tema Hindu
Nusantara dengan Sub. Uraian didalamnya, yaitu ada upaya dalam pendataan; Asal Etnis/Daerah
Hindu Nusantara, Sebutan untuk Nama Tuhan, dan Salam Agama.
Hal ini spintas nampak bagus, namun dicermati
lebih jauh, perlu dipertanyakan dimensi semangat pun tujuan dari self labeling itu ?. Mengapa, karena
selama ini dalam NKRI Agama yang dilindungi oleh NKRI bagi Warga Negara RI sebagai pemeluk Hinduisme adalah dengan Pelembagaan
Agama diberinama “Agama Hindu atau Hindu Dharma”, bukan Hindu Nusantara yang
disertai dengan Selflabeling seperti yang
dicantumkan dalam flyer atau selembaran hasil webinar itu. Selain itu pula,
wiweka yang lebih arif dan bijaksana masih dibutuhkan untuk hal self labeling seperti ini dalam
kehidupan Agama dan Keagamaan Hindu secara bersama-sama dalam tatanan bersama
pula dalam ‘Wadah Agama Hindu/Hindu
Dharma dengan segala totalitasnya secara lebih komprehensif dan integral, Memangnya mau buat seperti negara bagian, dengan model yaitu “AGAMA HINDU/HINDU
DHARMA yang didalamnya ada lagi kumpulan Agama Hindu Nusantara A, B, C, D...Z..?,
kenapa sudah seperti Partai Politik saja, semua mau mengangkat bendera...?.
Menurut curhatan dalam tulisan ini, mensikapi
selembaran hasil webinar itu, hal ini spintas nampak bagus dan moderat dengan
semangat moderasi di intern sesama Umat Hindu, namun bila keliru mengkemasnya
terlebih disertai dengan self labeling seperti itu, maka sendi-sendi yang telah
dibangun dalam struktur dan sistem agama
dan keagamaan Hindu oleh PHDI sebagai majelis bisa rapuh kembali. Pengelompokkan
seperti itu, atau self labeling yang lainnya akan bisa bergeser
sebagai upaya membentuk komunitas agama baru, atau akan menggiring generasi
untuk mengingkari semangat dan pesan suci dari Weda, yaitu diantaranya :
Om
Sam Gacchadwam Samwadadwam Sam Wo Manamsi Janatam Dewa Bhagam Yatha Purwe
Samjanana Upasate
Om Samani Wa Akutih Samana Hrdayani Wah
Samanam Astu Wo Mano Yatha Wah Susahasati. Om Ano Bhadrah Krattawoyantu
Wistawah. Ya Tuhan, Hamba Berkumpul Di Tempat Ini Hendak Bicara Satu Dengan
Yang Lain Untuk Menyatukan Pikiran Sebagaimana Halnya Para Dewa Selalu Bersatu.
Ya Tuhan, Tuntunlah Kami Agar Sama Dalam Tujuan, Sama Dalam Hati, Bersatu Dalam
Pikiran Hingga Dapat Hidup bersama Dalam Sejahtera Dan Bahagia. Ya Tuhan,
Semoga Pikiran Yang Baik Datang Dari Segala Penjuru.
“Idanim
dharma Pramanyahaa, Vedo khilo dharma mulam, Smrticile ca sadhunam, Acaraccaiwa
sadhunam, Atmanastustir eva ca”. “Seluruh pustaka suci Veda (Sruti dan Smrti) adalah sumber pertama dari pada dharma, kemudian juga
tatacara perikehidupan orang-orang suci/tingkah laku yang terpuji dari
orang-orang budiman yang mendalami ajaran pustaka suci Veda (Sila), lalu adat-istiadat (Acara) dan akhirnya kepuasan batin (Atmanastusti)”.
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang
menimbulkan aturan-aturan yang mengikat dan memaksa, sehingga apabila aturan-aturan
itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
Sumber hukum Hindu adalah Veda, hal ini ditegaskan dalam Manawadharmasastra XII. 96: “Utpadyante
syawante ca ynyato nyani knicit, tänyarwakkalikataya nisphaIinyanrt ni ca”.
Semua ajaran yang berbeda dari Veda yang lahir dan akan segera musnah adalah tak bernilai dan palsu karena itu
adalah dari zaman modern (Gede Pudja, 2012:741).
Selembaran hasil webinar itu, mengisyaratkan
ada upaya untuk menunjukkan identitas dengan sebuah self labeling komunitas dalam
Agama Hindu/Hindu Dharma di Indonesia. Curhatan
berikutnya berpendapat bawah daring atau webinar dalam tema-tema Agama dan Keagamaan Hindu bila tidak diramu oleh PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama
Hindu di Indonesia, dimensi bahasan bisa-bisa bias kemana-kemana, pembicaraan
pada tataran pendalaman ajaran Hindu sangat baik dan patut ditradisikan sebagai
Widya Tula atau Tarka Tattwa Jnana, mengingat hal itu termasuk dharma dan medote pembinaan Agama Hindu. Namun bilamana
sudah masuk ke struktur dan sistem kelembagaan Hindu dalam tatanan bersama,
PHDI sebagai majelis harus hadir dalam bingkai rumah bersama. Sekta/parampara/sampradaya,
dan self labeling yang lainnya sebagai wujud keluwesan Adikara Weda semestinya
bukan untuk menunjukkan indentitasnya secara kelompok, melainkan bagaimana cari
solusi untuk membumikan Sraddha, Tattwa
dan Filsafat, Susila, Acara dan Sadhana dalam Weda terhadap kelompok
penganut Hinduisme itu dalam tatanan
rumah bersama sebagai AGAMA HINDU/HINDU DHARMA di NKRI sesuai UUD1945 Pasal 29.
Berlomba untuk menyucikan kitab suci Weda sebagai sumber Tertinggi Ajaran Agama
Hindu sangat baik, berlomba untuk pendalaman Weda sangat baik, berlomba untuk
membesarkan Hindu dalam wadah Agama juga sangat baik. Namun bila semangatnya
adalah membesarkan pengikut sekta / parampara /samradaya, dan identitas kelompok lainnya
yang sejenis dengan self labeling A, B, C, D...Z, maka sama halnya menumbuhkan
agama dalam agama, faktanya umat Hindu belum semua memahami filosofis satu
kesatuan sebuah pohon, realitanya Akar,
Pohon, Dahan, Ranting dan Daun dengan
pengelompokkan seperti itu justru tidak mengarah pada sebuah pemahaman dan
kesadaran seperti filosofis pohon itu. Terusiknya Moderasi di Intern Hindu
telah terjadi, dengan Istilah Indianisasi-lah, Balinisasi-lah, dan lain-lain.
Pertanyaan dalam Curhatan pada tulisan
ini :
Apakah begitu pentingnya lagi di self
labeling dengan Nama Agama A, B, C, D,...Z Dalam Agama Hindu/Hindu Dharma Di NKRI ...?.
Adakah yang dirugikan selama ini dengan
Wadah Bersama sebagai Pemeluk Hinduisme dengan NAMA AGAMA HINDU/HINDU
DHARMA...?, Sehingga dipandang perlu untuk memunculkan pengelompokkan nama A,
B, C, D...Z lagi..?
Sebagai Pemeluk Hindu yang rindu dengan
beberapa pesan-pesan Weda yang telah disebutkan di atas, dalam curhatan ini
pula dengan kerendahan hati, memohon agar tokoh-tokoh Hindu atau yang
ditokohkan wariskanlah kepada kami, agar kami kelak dapat Beradaptasi dengan
Kebiasaan Baru sebagai umat dengan Nama “AGAMA HINDU / HINDU DHARMA”.
Bait Sloka Indah, Bhagavadgita, III.21. Yad yad ācarati śreṣṭhas, tat tad evetaro
janaḥ sa yat pramāṇaḿ kurute lokas tad anuvartate. Perbuatan apapun yang
dilakukan orang besar, akan diikuti oleh orang awam. Standar apa pun yang
ditetapkan dengan perbuatannya sebagai teladan, diikuti oleh seluruh dunia.
Rakyat umum (Umat Hindu) selalu
memerlukan pemimpin/tokoh yang dapat mengajar rakyat/umatnya dengan tingkah laku
yang praktis. Sri Caitanya mengatakan bahwa seharusnya tingkah laku seorang
guru sudah baik bahkan sebelum dia mulai mengajar. Orang yang mengajar dengan
cara seperti itu disebut ācārya, atau
guru teladan. Karena itu, seorang guru harus mengikuti prinsip-prinsip śastra (Kitab Suci) untuk mengajar orang
awam. Seorang guru tidak dapat membuat peraturan yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Kitab-kitab Suci yang sudah diwahyukan. Kitab-kitab Suci,
misalnya Manusamhita dan lain
sebagainya, dianggap buku-buku baku
untuk diikuti oleh masyarakat manusia. Jadi, apa yang diajarkan oleh pemimpin
seharusnya berdasarkan prinsip-prinsip śastra-śastra baku seperti itu. Orang
yang ingin memperbaiki diri-nya harus mengikuti aturan baku sebagaimana
dipraktekkan oleh para guru besar. Bahwa hendaknya seseorang mengikuti
langkah-langkah penyembah-penyembah yang mulia, dan itulah cara maju dalam
menempuh jalan keinsafan rohani. Seorang rājā , atau pemimpin negara, ayah dan
guru di sekolah semua dianggap pemimpin yang wajar bagi rakyat umum yang tidak
berdosa. Semua pemimpin tersebut harus memikul tanggung jawab yang besar
terhadap bawahan/umat-nya.
Om Santih, Santih, Santih Om
Unaaha, 22 Juni 2020
Om Subhamastu. Pranam,
Seorang Anak di Pojok Negeri (INS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar