BINDU KONAWE - MEDIA INFORMASI

SLOGAN BLOG BINDU KONAWE

<<SELAMAT DATANG DI BINDU KONAWESELAMAT DATANG DI BINDU KONAWE >>

Senin, 28 Desember 2020

Selayang Pandang Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe Tahun 2020

 Selayang Pandang Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe Tahun 2020


Gbr. Photo 
Photo Bersama Wakil Bupati Konawe
Wakil Ketua I DRPD Konawe
Kepala Kantor Kemenag Kab. Konawe
Jajaran PHDI Provinsi Sultra - Ketua PHDI Kab. Konawe
Masa Bhakti 2015-2020 dan Ketua Panitia Pelaksana
dalam Acara Pembukaan Loka Sabha IV
PHDI Kabupaten Konawe

Om Swastyastu,
Om Awignam Astu Namo Sidham.

Unaaha, Bindu Konawe (Media Informasi Penyelenggara Bimas Hindu)---Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara menghadiri dan sekaligus memberikan sambutan serta membuka Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe dalam Acara Pembukaan Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe Tahun 2020, yang diselenggarakan di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Konawe, Minggu, 27 Desember 2020.

Gbr. Photo
Pembacaan Sloka

Gbr. Photo
Tarian Penyambutan

Gbr. Photo
I Made Asmaya, S.Pd.
Anggota DPRD Konawe
( Ketua Panitia Pelaksana
Loka Sabha IV PHDI Kab. Konawe )

Wakil Bupati Konawe Gusli Topan Sabara dalam sambutannya mengapresiasi kegiatan Loka Sabha IV PHDI Kab. Konawe ini, dan berharap dapat melahirkan pengurus-pengurus yang memang benar-benar bersedia untuk bekerja ikhlas dan menjadi pengayom yang handal bagi para umat Hindu dan berkontribusi untuk kemajuan Daerah Konawe yang kita cintai ini, ucapnya.



Gbr. Photo
Bapak Gusli Topan Sabara, ST., M.M.
Wakil Bupati Konawe

Pada Acara Pembukaan Loka Sabha IV PHDI Kab. Konawe, juga di hadiri oleh Wakil Ketua I DPRD Konawe Kadek Rai Sudiani dan Kepala Kantor Kemenag Kab. Konawe H. Ahmad Lita Rendelangi dan sekaligus memberikan sambutan dalam acara tersebut.

Gbr. Photo 
Ibu Kadek Rai Sudiani
Wakil Ketua I DPRD Konawe


Gbr. Photo
Bapak H. Ahmad Lita R., S.Ag., M.Pd.
Kepala Kantor Kemenag Kab. Konawe
Saat Memberikan Sambutan

Kadek Rai Sudiani dalam sambutannya menyampaikan dengan mengutif tema yang diangkat oleh Panitia Pelaksana Loka Sabha IV yaitu “Melalui Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe Mari Tingkatkan Semangat Moderasi Beragama, Umat Rukun Indonesia Maju. Selamat dan sukses atas terselenggaranya Loka Sabha IV PHDI Kab Konawe. Saya mewakili Umat Hindu Kab. Konawe mengucapkan terimakasih atas perhatian dan support Pemerintah Daerah Konawe selama ini sehingga kami dapat melaksanakan kegiatan dengan sukses, ucapnya.

Gbr. Photo 
Ibu Kadek Rai Sudiani
Wakil Ketua I DPRD Konawe
Saat Memberikan Sambutan

H. Ahmad Lita Rendelangi sebagai Kepala Kantor dalam sambutannya juga menyampaikan apresiasi atas terlaksananya Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe, terlebih dalam berloka sabha menggunakan tempat Aula kantor Kementerian Agama Kab. Konawe ini, tentu sebagai kepala Kantor saya sangat senang, karena memang Kantor Kementerian Agama ini keberadaan dan peruntukannya untuk semua Agama, agar tidak terkesan Kantor Kementerian Agama adalah Kantor Agama Islam, tegas dalam tuturnya.

Gbr. Photo 
Bpk Dr. Eng. I Nyoman Sudiana, S.Pd., M.Si.
Ketua PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara

Ketua PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara I Nyoman Sudiana berserta jajaran pengurus hariannya, hadir tepat waktu dalam Acara Pembukaan Loka Sabha IV PHDI Kab. Konawe.  Kehadiran PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai wujud apresiasi dan dukungan terhadap terlaksananya Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe, dimana PHDI Kabupaten Konawe  secara hirarki ataupun sistem dan struktur keparisadaan PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara, PHDI Kab. Konawe adalah salah satu perpanjangan pelaksanaan Program Kerja PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara di Kabupaten Konawe. Sambutan yang diberikan dan sekaligus melantik Kepengurusan PHDI Kabupaten Konawe Masa Bhakti 2020-2025  yang dilaksanakan oleh I Nyoman Sudiana sebagai Ketua PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara, menjadi tanda bahwa sesuai AD/ART PHDI pelaksanaan Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe telah berjalan dengan baik sesuai ketentuan yang ada dan berjalan lancar dan sukses dengan mengasilkan beberapa keputusan sebagai Hasil Keputusan Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe Tahun 2020 yang nantinya menjadi Dasar Pelaksanaan Program Kerja PHDI Kabupaten Konawe Masa Bhakti 2020-2025 di Kabupaten Konawe.

Gbr. Photo 
Pelantikan Pengurus Harian PHDI Kabupaten Konawe
Masa Bhakti 2020-2025
Oleh Ketua PHDI Provinsi Sulawesi Tenggara

Dalam kesempatan ini, I Nyoman Sudiana mengatakan bahwa sebagai pengayom umat nantinya bisa bersinergi penuh kepada pemerintah dan lembaga terkait sehingga kita semua mampu mewujudkan pembangunan dalam Dharma Agama dan Dharma Negara kedepan dengan lebih baik, lebih rukun dan bersatu.

Di akhir Loka Sabha IV PHDI Kabupaten Konawe ditandai serah terima bendera PHDI sebagai simbol sakral serah terima dari Ketua Pengurus Harian masa bhakti 2015-2020 I Nengah Sumendra yang telah didimisioner kepada Ketua Pengurus Harian PHDI Kabupaten Konawe baru terpilih masa bhakti 2020-2025 Ketut Suciko.

Gbr. Photo 
Serah Terima Kepengurusan Ketua Dimisioner
I Nengah Sumendra, S.Ag., M.Fil.H
Kepada Ketua PHDI Terpilih Masa Bhakti 2020-2025
Ketut Suciko, S.Pd., M.Pd.

Kekompakkan dan semangat jajaran Panitia Pelaksana juga menghiasi bagian dibagian akhir pelaksanaan Loka Sabha IV PHDI Kab. Konawe, Ketua Panitia Pelaksana I Made Asmaya dan Ibu Kadek Rai Sudiani Pribadi sangat setia mensupport sampai dipenghujung kegiatan Loka Sabha ini berakhir.


Gbr. Photo 
Suasana Photo Bersama Panitia dan Dua Tokoh Legislatif
Wakil Ketua I DPRD Konawe dan Anggota DPRD Konawe
( Ibu Kadek rai Sudiani & I Made Asmaya )

Selamat kami ucapkan atas kepada Pengurus Harian PHDI Kabupaten Konawe Masa Bhakti 2020-2025, Semoga Dharma dan Swadharma yang dimandatkan oleh Loka Sabha IV dapat berjalan dengan baik dan sukses. Rahayu.












Om Subhamastu,
Om Sidha Paripurna,
Om Santih, Santih, Santih Om.


Late Post by Bindu Konawe
Dok. Bindu Konawe
Sumber : Panitia Pelaksana

Senin, 07 Desember 2020

Menyambut Loka Sabha IV PHDI Tingkat Kabupaten Konawe Tahun 2020

Menyambut Loka Sabha IV PHDI Tingkat Kabupaten Konawe Tahun 2020

Gbr. Photo
Suasana Rapat Pembentukan Panitia Loka Sabha IV
PHDI Tingkat Kabupaten Konawe Tahun 2020


Bindu Konawe (Media Informasi Penyelenggara Hindu) --- Penyelenggara Hindu Kantor Kemenag Kab. Konawe menghadiri Rapat Lintas Lembaga-Lembaga Hindu Tingkat Kabupaten Konawe yang dilaksanakan di Rumah Jabatan (Rujab) Wakil Ketua I DPRD Konawe Ibu Kadek Rai Sudiani, Minggu, 06 Desember 2020.

Undangan dalam kegiatan ini, Dua Tokoh Legislatif, Dua Tokoh Kepolisian, Satu Anggota FKUB Konawe (Perwakilan PHDI Kab. Konawe), Delapan Kepala Desa beragama Hindu, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH)  Konawe, Anggota Paruman Walaka, Lembaga-Lembaga Hindu Tingkat Kabupaten Konawe, Seluruh Ketua  PHDI Kecamatan dan Desa dan Ketua Adat Desa Pakraman di 16 Desa Pakraman di Kabupaten Konawe.

I Nengah Sumendra, yang saat ini masih aktif sebagai Ketua PHDI Kabupaten Konawe Masa Bakti 2015-2020 saat memimpin Rapat Pembentukan Pantia Loka Sabha IV PHDI (Majelis Tertinggi Kabupaten Konawe) menyampaikan bahwa pada masa pendemi ini pelaksanaan Loka Sabha IV PHDI Tingkat Kabupaten Konawe akan dilaksanakan di Aula Kantor Kemenag Kab. Kabupaten Konawe dengan berbagai pertimbangan.

Lebih lanjut, untuk menindaklanjuti  tempat pelaksanaan Loka Sabha tersebut, maka seyogianya Panitia Pelaksana (PANPEL) Loka Sabha bersama tokoh yang lainnya agar segera melakukan Audensi ataupun Soan kepada Pemerintah Daerah Kab. Konawe, tak terkecuali kepada Kepala Kantor Kemenag Kab. Konawe, selain untuk menyampaikan permohonan izin penggunaan Aula Kantor sebagai tempat untuk ber-loka sabha, juga sekaligus menyampaikan undangan kegiatan yang akan dilaksanakan kepada Kepala Kantor Kemenag Kab. Konawe.

Gbr. Photo Suasa Rapat Pembentukan 
Panitia Pelaksana Loka Sabha IV PHDI Tingkat Kab. Konawe


Pada kesempatan yang sama, kapasitasnya sebagai Penyelenggara Bimas Hindu di Kabupaten Konawe, dihadapan para pengurus dan lembaga-lembaga Hindu Tingkat Kabupaten Konawe menyampaikan  bahwa di tahun Anggaran 2021, astungkara melalui DIPA Bimas Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Konawe akan mensuport Dana Operasional kepada PHDI Kab. Konawe, jumlahnya tidak terlalu banyak, tetapi dapat dimaanfaatkan oleh PHDI Kabupaten Konawe dalam menjalankan Tugas Pokok dan Fungsi sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu di Kabupaten Konawe, ucapnya.

Pada bagian akhir sambutannya, I Nengah Sumendra sebagai Ketua PHDI Kabupaten Konawe menyampaikan selamat kepada I Made Asmaya, S.Pd. (Anggota DPRD Konawe) yang telah terpilih dan diberikan amanah sebagai Ketua Panitia Palaksana Loka Sabha IV PHDI Tingkat Kabupaten Konawe, dan tak lupa juga menyampaikan terimakasih dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Kadek Rai Sudiani (Wakil Ketua I DPRD Konawe) yang telah mensuport dan memfasilitasi terlaksananya agenda kegiatan yang berlangsung saat ini, sebagai awal kegiatan menjelang menyambut agenda lima tahunan PHDI Kabupaten Konawe sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu di Kabupaten Konawe di akhir bulan desember tahun 2020 ini. Berikut dokumentasi kegiatan yang dimaksud.

Dok. Bindu Konawe

Late Post : Bindu Konawe (INS)

 

Minggu, 18 Oktober 2020

Ciri-Ciri Zaman Kali (Kali Yuga)

CIRI-CIRI ZAMAN KALI (KALI YUGA) *)
Gbr. Desain Kaliyuga

(Materi Dharma Wacana 
dalam Media Informasi Bindu Konawe)
Oleh : I Nengah Sumendra *)
Om Swastyastu,
Om Loka Samastha Sukhino Bhavantu,
Om Loka Samastha Purnam Santih Bhavantu,

Umat sedharma dimanapun berada, kembali Bindu Konawe hadir dalam siar ataupun pewartaan ajaran Agama Hindu. Adapun tema yang dapat Bindu Konawe haturkan pada kesempatan ini yaitu : “Ciri-riri Kaliyuga atau sering disebut  dengan zaman Kali”.  

Umat sedharma sebagai Wedantin dan Wedantini, ajaran Agama Hindu, yang menempatkan Weda sebagai Kitab Suci dan sekaligus  mendudukan sebagai hukum tertinggi bagi umat Hindu, maka sepatutnya umat Hindu sedapat mungkin mempedomani prinsip-prinsip dasar dari Agama Hindu yang dianutnya. Prinsip-prinsip dasar yang dimaksud yaitu Sraddha, Tattwa, Susila, Acara dan Sadhana yang terkandung dalam kitab suci Weda. Sehingga ekspresi maupun apresiasi yang dilakukan umat Hindu dalam keseharian hidupnya, baik dalam arah gerak pikiran, perkataan dan tindakannya, merupakan sebuah cetusan dharma dan swadharma dari Sraddha, Tattwa, Susila, Acara dan Sadhana yang dimilikinya, untuk meningkatkan kualitas hidup dan kelahirannya di dunia ini.

Umat sedharma yang prema santih, sesuai dengan tema yang diangkat pada pewartaan kali ini, maka arah gerak dari ekspresi dan apresiasi atau perhatian kita sebagai umat Hindu, patut diarahkan pula pada ajaran kitab suci Weda khususnya tentang adanya siklus zaman didunia ini seriring dengan perputaran Sang waktu.

Umat sedharma yang budiman, menurut ajaran Agama Hindu, 1 (satu) Mahayuga adalah suatu siklus perkembangan zaman yang terjadi di dunia ini, yang terbagi menjadi empat zaman, yaitu Satyayuga atau Kertayuga, Tretayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga. Keempat zaman tersebut membentuk suatu siklus. Siklus tersebut diawali dengan Satyayuga, menuju Kaliyuga. Satyayuga diyakini sebagai zaman keemasan, dan Kaliyuga diyakini sebagai zaman kehancuran atau kegelapan, hal ini mengandung pesan bahwa pada konteks siklus kelahiran; ‘penciptaan (utpati), pemeliharaan (stiti), peleburan (pralina)’ adalah kesempurnaan siklus dari rta Sang Waktu, maka demikian pula tentang ajaran kebenaran dan kesadaran sebagai umat beragama lambat launpun akan berkurang, seiring bertambahnya umat manusia dan perubahan zaman. Di mana pada akhirnya manusia akan merasa bahwa di suatu masa yang sudah tua, ketika dunia ini renta, ketika kerusakan ataupun degradasi moral dan pergeseran budaya sudah bertambah parah, maka sudah saatnya dilebur kembali sebagai sebuah masa penuaan, kehancuran atau kiamat (pralaya).

Umat sedharma yang budiman, Kaliyuga disebut juga Kalisangara, yaitu sebagai zaman kegelapan, zaman kehancuran, adalah salah satu dari empat siklus yuga. Dari beberapa sumber yang membahas tentang perhitungan siklus Mahayuga, bahwa Kaliyuga dijelaskan berlangsung selama 432.000 tahun. Hidup di zaman Kali adalah hidup yang penuh dengan godaan, karena kekuatan Dharma sudah tidak sebanding dengan kekuatan Adharma, kehidupan telah dipenuhi; pertengkaran, kepalsuan, materialistik, kemunafikan, kebimbangan dan keragu-raguan. Sehingga hidup di zaman Kali diperlukan perjuangan, keteguhan, kemantapan ataupun ketetapan hati, yaitu selalu dapat berjalan dijalan satya dharma. Hanya dengan sraddha bhakti kehadapan Hyang Widhi Wasa satu-satunya cara untuk menjaga kemantapan hati itu.

Umat sedharma yang prema santih, oleh karena itu umat Hindu perlu memahami kewajibannya sebagai manusia yang hidup di zaman Kali termasuk mengetahui dan memahami ciri-ciri dari zaman Kali itu, agar nantinya umat Hindu sebagai Wedantin dan Wedantini punya kesadaran bahwa semuanya ini adalah siklus kehidupan dan perputaran Sang Waktu. Dari proses ‘Mengada (Brahmadiva)’ dan ‘Meniada (Brahmanakta)’, kemudian ‘Mengada’ kembali, adalah proses perputaran Tri Kona Utpati, Stiti dan Pralina semuanya adalah kehendak-Nya, dan kita sebagai umat-Nya tidak akan mampu melawan dari kekuatan hukum (rta) Sang Waktu itu.

Umat sedharma yang prema budiman, zaman Kali dicirikan sebagai zaman pertengkaran, kekacauan, kegelapan, kepalsuan, materialistik, kemunafikan, kebimbangan dan keragu-raguan. Keras dan panasnya kehidupan di zaman Kali berpengaruh terhadap kacaunya segala aspek kehidupan.  Menurut kitab suci Weda, dari beberapa kitab suci-nya seperti diantaranya; Pada kitab Bhagavata Purana, Kitab Wisnu Purana, Kitab Garuda Purana, Kitab Mahabharata (Korawasrama, Mausala Parwa, Vana Parwa), Kitab Nitisastra, Kitab Slokantara, dll, dijelaskan bahwa gambaran atau ciri-ciri dari zaman Kali adalah diantaranya, sbb:

  • Manusia suka bertengkar, malas, sesat, bernasib sial dan selalu resah,
  • Pada zaman Kali ini orang-orang jahat dan gila (tetapi kaya), tegasnya yang jahat dan rusuh itu sumber-sumber kehancuran, mereka menyakiti orang-orang baik.
  • Terjadi peperangan, kekerasan lawan kekerasan dimana-mana.
  • Terjadi kehancuran bagi budhi dan hati orang-orang saleh (pandita).
  • Tidak ada kedamaian hidup, tingkatan pembasmian itu terus memuncak.
  • Semua dharma terbengkalai dan tergeletak di debu tidak dihiraukan.
  • Manusia yang berhati sebaik emas, kemudian menjadi hati semulia perak, lalu merosot lagi senilai tembaga dan akhirnya menjadi sekeras besi yang nilainya jauh lebih rendah dibanding dengan logam-logam lainnya.
  • Dimana-mana terdapat perselisihan, perkelahian, terjadi kekerasan.
  • Segala suasana di jagat ini akan menjadi kekacauan.
  • Pemberian dana dan upacara hanya tinggal namanya saja.
  • Tugas para Brahmana akan dipegang oleh Warna Sudra yang kaya.
  • Warna Sudra akan menjadi makmur kaya.
  • Orang-orang kaya akan bertindak sebagai raja-raja.
  •  Manusia berumur pendek dan tingginya akan berkurang.
  • Perasaan dan penciumannya akan lenyap.
  • Para laki laki akan menjual Kitab Sucinya.
  • Para wanita akan banyak menjual diri.
  •  Hasil susu sapi akan berkurang.
  • Orang-orang akan mati kelaparan.
  • Bunga dan buah akan berkurang hasilnya.
  • Burung gagak akan bertambah.
  • Para Brahmana jadi pengemis.
  • Orang-orang suci jadi pedagang saudagar.
  • Para murid tidak menghormati gurunya.
  • Para Brahmana akan memelihara kuku dan rambut menjadi panjang.
  •  Tidak melaksanakan Catur Warna Asrama secara murni.
  • Hujan akan turun tidak pada musimnya.
  • Terjadi pembunuhan di mana mana.
  •  Para saudagar pedagang menjadi penipu dengan pemalsuan ukuran.
  • Kejujuran akan berkurang dan dosa akan bertambah.
  • Para wanita umur 7-8 tahun akan banyak yang hamil dan pemuda-pemuda kecil jadi ayah.
  • Para remaja 16 tahun rambutnya sudah beruban.
  • Orang Tua seperti anak-anak muda.
  •  Para istri akan berbohong dengan suaminya.
  • Para istri melakukan prostitusi walaupun suaminya masih hidup.
  • Manusia akan kejam seperti binatang akan bertambah dengan membuang bayi aborsi,dll.
  • Para wanita akan menjadi Mukhebhagas, yaitu membiarkan mulutnya dipakai sebagai vulva/alat kelamin.
  • Dharma merosot dan Adharma berkembang subur.
  • Kualitas, moral dan hidup manusia merosot.
  •  Manusia bertabiat Asurik (jahat).
  • Raja, kepala dan pejabat negara bermoral buruk dan rendah.
  • Kekayaan material dan keniknatan indriawi menjadi tujuan hidup.
  • Hukum dan keadilan ditentukan oleh kekuasaan.
  • Perkawinan karena material dan sek berdasarkan prinsip suka sama suka.
  • Segala urusan dan hubungan bisnis berlandaskan tipu-muslihat.
  • Aturan hidup varna-asrama dharma dicampakkan.
  • Kekuasaan dicapai melalui kekuatan.
  • Rakyat menderita karena bencana alam, kelaparan, beban pajak, penyakit dan kecemasan.
  •  Wanita hidup bebas dan tidak suci.
  • Veda dimengerti dengan pola pikir atheistik.
  • Kota-kota dikuasai para bandit.
  • Majikan dan pelayan saling tidak setia.
  • Laki-laki dikendalikan wanita.
  • Orang-orang sudra menipu melalui praktek kerohanian.
  • Manusia menjadi amat individualistik.
  •  Manusia dan alam terkena polusi.
  •  Manusia melalaikan Tuhan karena berwatak atheistik.
  • Dan masih banyak lagi yang lainnya.

Umat sedharma yang prema santih, begitu keras dan panasnya kehidupan di zaman Kali yang berpengaruh terhadap kacaunya segala aspek kehidupan, namun demikian, atas Cinta Kasih Sayang (Paramaprema) Ida Sanghyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa kepada ciptaannya, terlebih kepada hambaNya ataupun para pemujaNya, Hyang Widhi Wasa menganugrahkan wahyu suciNya kepada hambaNya, yaitu yang berkaitan dengan kewajiban ataupun sadhana yang dapat dilakukan oleh umat manusia sebagai upaya untuk penyucian, penebusan, penyelamatan, pemuliaan, penyatuan dan pembebasan jiwa dari samsara kelahirannya karena pengaruh dari zaman Kali tersebut. Adapun Sraddha, Tattwa, Susila, Acara dan Sadhana sebagai kewajiban umat manusia di zaman Kali yang dimaksud, diantaranya tersurat dan tersirat dalam sloka-sloka suci Weda sebagai berikut :  


Anye krtayuge dharmastre
tayam dwapere" pare
anye kaliyuge nrrnam
yugahrasanurupatah

Terjemahannya.

Kewajiban manusia di zaman krtayuga berbeda macamnya dan kewajiban-kewajiban yang ditentukan di zaman tretayuda dan di zaman dwapara demikian pula di zaman kaliyuga, sesuai menurut panjangnya masa yang semakin berkurang. (Manawa Dharmasastra,I.85)

Sesungguhnya kewajiban utama manusia pada Kaliyuga adalah: berdana punya sebagaimana dinyatakan dalam kitab Parasara Dharmasastra sebagai berikut:


Tapah Param Krtayuge,
Tretayam Jnananucyate,
Dvapare Yajnamitya,
curddanam Ekam kalau yuge

Terjemahannya:

Pelaksanaan penebusan dosa yang ketat (tapa) merupakan kewajiban pada masa Satyayuga; pengetahuan tentang sang diri (jnana) pada Tretayuga; pelaksanaan upacara kurban keagamaan (yajna) pada masa Dwaparayuga, dan melaksanakan amal sedekah (danam) pada masa Kaliyuga (Parasara Dharmasastra, I,23).

Umat sedharma sebagai Wedantin dan Wedantini, demikilan menurut ajaran Agama Hindu, berkenaan dengan prinsip-prinsip dasar Sraddha, Tattwa, Susila, Acara dan Sadhana yang terkandung dalam kitab suci Weda yang mengajarkan tentang suatu siklus perkembangan zaman yang terjadi di dunia ini, yang disebut sebagai siklus Mahayuga. Semoga uraian singkat tentang Ciri-ciri zaman Kali, dapat menjadi bahan renungan bagi kita semua bahwa zaman Kali begitu sangat mempengaruhi segala aspek kehidupan saat ini, tak terkecuali mempengaruhi pikiran, perkataan, dan perilaku hidup kita. Dengan berbekal pengetahuan dan pemahaman tentang zaman Kali, dengan menyadari bahwa kita sebagai manusia yang hidup di zaman Kali pula tentunya juga tetap berupaya untuk dapat melakukan penyucian, penebusan, penyelamatan, pemuliaan, penyatuan dan pembebasan jiwa dari samsara kelahirannya karena pengaruh dari zaman Kali tersebut dengan mempedomani kitab suci Weda sebagai sumber ajaran dari Agama Hindu yang kita anut. Akhir kata, semoga bermanfaat, Om Sarvesam Manggalam Bhavantu, Om Sarvesam Purnam Santih Bhavantu.

Om Santih, Santih, Santih Om
Om Subhamastu
Post by Bindu Konawe
Unaaha, 19/10/2020

Minggu, 27 September 2020

Pelaksanaan Kegiatan Bantuan Operasional Program Afirmasi Pendidikan Agama dan Keagamaan Pada Masa Pandemi Covid-19 di Pasraman Dharma Aksara

Pelaksanaan Kegiatan  Bantuan  Operasional Program  Afirmasi  Pendidikan  Agama  dan  Keagamaan  Pada  Masa Pandemi  Covid-19 di Pasraman Dharma Aksara

 

Gbr. Dok. Photo Pembiasan Cuci Tangan,
Handsanitizer, Pakai Masker dan Cek Cuhu Badan
Pada Siswa-Siswi Pasraman Dharma Aksara

Om Swastyastu,

Unaaha-Bindu Konawe (Media Informasi Penyelenggara Hindu KanKemenag Kab. Konawe)---Pasraman Dharma Aksara Kec. Padangguni/Abuki, Kab. Konawe,  Prov. Sulawesi Tenggara Melaksanakan Kegiatan  Bantuan  Operasional Program  Afirmasi  Pendidikan  Agama  dan  Keagamaan  Pada  Masa Pandemi  Covid-19 yang diberikan oleh Direktorat Jendral Bimas Hindu Kemenag RI, Sabtu, 26/09/2020. 

 

Gbr. Dok. Pohoto Pemberian Vitamin C dan E
Kepada Siswa-Siswi Pasraman 

Penyelenggara Hindu Kemenag Kab. Konawe I Nengah Sumendra memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari pemberian batuan afirmasi kepada pasraman yang dimaksud. Pada kesempatan yang sama pula Sumendra memberikan pembinaan kepada Pengurus, Tenaga Pembina/Guru dan siswa siswi Pasraman Dharma Aksara untuk tetap memperhatikan dan  pentingnya penerapan Protokol Kesehatan dimasa pandemi Covid-19 di Lingkungan Pasraman.

 

Gbr. Dok. Pohoto Pemberian Paket Sembako
Kepada Tenaga Pembina/Guru Pasraman 

Siswa-Siswi yang dapat dihadirkan pada kesempatan ini baru seperempat dari total jumlah siswa-siswi Pasraman Dharma Aksara untuk membatasi jumlah kerumunan, begitu penyampaian dari Guru Pengampu Tingkat SD dan SMP. 

 

Gbr. Dok. Pohoto Pemberian Paket Sembako
Kepada Tenaga Pembina/Guru Pasraman

PHDI Kecamatan I Made Deresta, dan Bendesa Pakraman Alosika I Ketut Danis sebagai Pelindung dan Penasehat dalam Struktur Kepengurusan Pasraman Dharma Aksara menyampaikan terimakasih atas perhatian yang diberikan kepada putra-putri kami dengan diberikannya bantuan operional program afirmasi kepada Pasraman Dharma Aksara, sehingga melalui program ini putra-putri kami mendapatkan edukasi tentang Protokol Kesehatan sebagai Adaptasi Kebiasaan Baru  pada masa pandemi Covid-19, ucapnya. 

 

Gbr. Dok. Photo Bersama 
Beberapa Tenaga Pembina/Guru dan
Siswa-Siswi Pasraman Dharma Aksara

Berikut beberapa dokumentasi photo dari pelaksanaan kegiatan yang dimaksud, yang dilaksanakan di Pura Dalem Desa Pakraman Alosika yang bersebelahan dengan Areal Pasraman Dharma Aksara (INS).

 

Gbr. Dok. Photo Beberapa Tenaga Pembina/Guru
Yang sempat Hadir,  Saat Rapat Intern Bersama
Pengurus Pasraman, Ketua PHDI Kecamatan,
dan Bendesa Pakraman Alosika


Om Santih, Santih, Santih Om

Dok. Bindu Konawe

Post by Bindu Konawe

Unaaha, 28 September 2020

Kamis, 17 September 2020

Lepaskan Derita dan Bangkit Gembira Untuk Membahagiakan Orang Lain

Lepaskan Derita dan Bangkit Gembira Untuk Membahagiakan Orang Lain

Oleh : Puspajyothi

Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Puspajyothi


Om swastyastu,

Semoga semua pikiran, perkataan dan perbuatan membuat semua orang bergembira.

Hawa pagi ini terasa sejuk, bukan dingin. Mendatangkan perasaan damai. Dauh Brahma Muhurtha. Yotir memancarkan sinar dan harum dupa herbal menambah rasa kusuk dan magis. Hasrat untuk memuja sudah membuncah sejak terdengar kelentingan tiga kali di sebuah kantor. Pertanda menjelang dauh, saat yang tepat memuja Brahman sebagai Siwa yang sedang beryoga. Hari ini Buda Kliwon Wuku Dungulan, disebut Hari Raya Galungan, memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Melakukan perayaan bersembahyang di berbagai pura dengan perasaan penuh suka dan kegembiraan, sebagaimana seseorang yang menang. Penganan beraneka ragam dengan aneka menu yang membuat selera semakin membuncah. Ornamental seindah yang ada.

Memperingati Kemenangan! Setiap hari umat Hindu berjuang untuk tetap di jalan dharma (kebenaran) dalam laku kehidupan. Mengendalikan indera-indera, mengendalikan pikiran, mengendalikan perkataan dan perbuatan. Mengapa? Untuk membuat orang lain gembira dan bahagia (agawe sukaning wong len). Bayangkanlah, bagaimana indah dan damainya sebuah kehidupan dimana setiap orang berusaha membuat orang orang lain selain dirinya BERGEMBIRA-BERBHAGIA. Tidak ada satu orangpun terasa disakiti. Tidak ada satu orangpun terasa diancam dan dicelakai.

Kedamaian hidup inilah yang menjadi idaman setiap manusia, tanpa membedakan latar belakang. Semua ingin damai. Umat Hindu mencerminkan sikap itu sejak mulai menyiapkan Perayaan Galungan, tiada hari tanpa kegembiraan dan senyum. Kegembiraan dan senyum hanya dapat mewujud manakla manusia telah dapat memenuhi dan memuaskan keinginannya (kama). Kebahagian baru hadir dan mengendap lama bila seseorang mampu mengendalikan keiinginannya. Agar keinginan terarah pada apa yang menjadi kebutuhannya saja. Orang boleh saja berbuat sekuat mungkin untuk mengumpulkan harta. Orang boleh saja sekuat tenaga belajar untuk menjadi cendekiawan. Orang boleh saja sekuat tenaga meningkatkan budi agar menjadi orang yang arif bijaksana. Seluruh kegiatan itu harus diarahkan untuk membahagian orang lain. MEMBAHAGIAKAN ORANG LAIN.

Dalam Pustaka Suci Bhagawad Gita VII:12, ditemui tuntunan hidup yang sesuai dengan semangat Galungan:

Ye caiva sātvikā bhāvā rājasās tāmasāś ca ye matta eveti tān viddhi na tv ahaᚁ teášŖu te mayi” Artinya: “Walaupun bagaimana keadaan sifat itu, baik satwa-rajah-tamah, ketahuilah, semuanya berasal dari Aku, bukan Aku di dalam mereka, tetapi mereka didalam Aku”.

Tuhan ada di setiap ciptaan. Sifat sifat yang baik-arif-bijaksana, sifat sifat yang aktif-ptogresif-ambisus, sifat sifat loba-bodoh dan malas ada di dalam setiap manusia. Ia berkembang sejalan dengan upaya manusia itu sendiri. Seseorang yang tekun dalam pengendalian diri, melakukan tapasya, dhanam dan yajna dengan baik sesuai ajaran Weda akan mengarah ke sifat yang baik-arif-bijaksana. Orang orang satiwikasang sadhu…akan menjadi sumber kedamaian dan solusi hidup.

Pada Perayaan Galungan hari ini, semua umat Hindu adalah orang orang yang beruntung dirangkum dalam suasana damai dan gembira. Damai dan gembira hanya dicapai oleh orang orang yang mengembangkan sifat satwika.

Ketiga sifat ini tidak bisa dipisahkan dan selalu ada selama manusia hidup. Proporsinyalah yang berbeda dari satu orang dengan orang lainnya, apakah satwa, atau rajah atau tamah yang mendominasi sifat seseorang. Namun dengan adanya perayaan Galungan, Umat Hindu dapat mengembangkan sifat satwika ini, karena rangkaian perayaan Galungan dirancang penuh dengan upaya upaya pengekangan keinginan dan pengendalian indera indera. Selamat merayakan Galungan. Semoga semua beriktiar untuk membuat orang lain bergembira (agawe sukaning wong len).

Om Santih Santih Santih Om.

Kendari, 16092020/3.39

Unaaha, 17 September 2020 (INS)

Berhasil Mengendalikan Indera Mencapai Kebahagian

 

Berhasil Mengendalikan Indera Mencapai Kebahagian

Oleh: Puspajyothi

 

Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Puspajyothi

Om swastyastu,

Semoga semua mahluk berbahagia

Tradisi atau adat sebuah komunitas memberikan ciri spesifik dari bangsa itu. Tradisi dimanapun dijaga dan dilestarikan oleh pendukungnya, tidak terkecuali umat Hindu. Tradisi praktek keagamaan dari setiap komunitas dilaksanakan dengan penuh suka cita, lascarya dan penuh kegembiraan.

 

Setelah kemarin telah melaksanakan persembahyangan bersama keluarga di sanggah pemerajan, panti, dadia dan kahyangan tiga serta pura pedharman dan lainnya, hari ini umat Hindu bergembira “Nyurud Lungsuran”. Berbagai penganan misalnya tape masih terasa manis dan sedikit panas, berbagai menu misalnya tum masih segar dikunyah. Ibu-ibu membuat kue-kue lungsuran dicampur dengan pisang dan lainnya menjadi kue yang lesat. Di wantilan atau balai banjar anak anak muda (teruna-teruni) membuat pasar raya, dan ada pementasan seni. Orang orang berkunjung ke rumah rumah saudara dan handaitulan untuk melakukan simakrama. Mengucapkan salam keselamatan, memaafkan dan meminta maaf. Sungguh kedamaian berada dalam genggaman dan dunia nampak harmonis.

 

Dunia nampak baru dan bersih. Hawa terasa sejuk, angin mendesir mengantarkan rasa damai. Hati dipenuhi rasa syukur atas keberhasilan mengendaliakn diri membuat orang orang lain bergembira. Dalam hati membuncah perasaan senang yang memancarkan kedamaian dan senyum kepada setiap mahluk.

 

Pemujaan selalu mendatangkan kebahagian baik lahir dan batin. Hanya umat Hindu yang tekun melakukan sadhana pengendalian diri yang mampu mancapai kenikmatan dan kebahagian yang sejati, yang hanya dicapai oleh mereka yang memegang teguh kebenaran.

 

Dalam Bhagawad Gita VI:21, dapat dilihat tuntunan hidup sebagai berikut:

Sukham ātyantikaᚁ yat tad buddhi-grāhyam atÄĢndriyam vetti yatra na caivāyaᚁ sthitaś calati tattvataá¸Ĩ”Artinya: “Ketika Jiwa mengalami kebahagiaan tertinggi yang (berasal dari dirinya sendiri, dan) melampaui segala kenikmatan indra, bahkan segala kenikmatan yang dapat diperolehnya lewat intelegensia, maka ia akan berpegang teguh pada kebenaran, dan tak tergoyahkan lagi oleh tantangan seberat apa pun”

 

Runtunan Hari Raya Galungan merupakan ruang untuk belajar dan melaksanakan pengendalian indera dan pengekangan pikiran, dan umat Hindu telah berhasil melampauinya. Keberhasilan hari ini menjadi modal untuk mencapainya lagi pada enam bulan berikutnya, bertemu lagi dalam acara yang sama: mengendalikan indera dan pengekangan pikiran untuk membuat orang lain Bahagia  lewat rangkaian kegiatan Galungan.

 

Semoga seluruh keinginan untuk mencapai kehidupan yang makmur dan sejahtera dicapai oleh semua manusia,

 

Om santih santih santih Om.

Kendari, 17092020/ 4.21

Unaaha, 17 September 2020 (INS)

Minggu, 13 September 2020

“Renungan: Menemu Kenali Titik Temu Rasa Kehinduan”


“Renungan: Menemu Kenali Titik Temu Rasa Kehinduan”
Oleh : Mendrajyothi (INS)
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Mendrajyothi
Om swastyastu,

Kehidupan keagamaan masyarakat Hindu sampai saat ini yang paling banyak disoroti bahkan oleh masyarakat Hindu itu sendiri, adalah pelaksanaan ritus atau ritual keagamaan Hindu. Terjadinya stagnasi yang hanya pada sorotan fisik matrial dari ritual keagamaan Hindu, ditandai oleh wacana dimana kerap kali pelaksanaan dari ritual itu dikaitkan dengan kondisi ekonomi masyarakat Hindu dan kondisi yang lainnya. Bahkan tidak hanya sampai di situ, pelakasanaan ritual keagamaan Hindu secara fisik matrial kerap kali pula dipermasalahkan dengan tampilannya yang berbeda-beda antara daerah dan atau etnis yang satu dengan daerah dan atau etnis yang lainnya sebagai sesama pemeluk Hinduisme, pada konteks ini bila terjadi ritual keagamaan Hindu pada sebuah daerah dan atau etnis tertentu dianggap sebagai sebuah gerakan yang revolusioner terhadap sebuah tradisi adat istiadat yang telah mentradisi secara turun-temurun di dearah dan atau bagi etnis itu. Istilah ‘Indianisasi, Jawanisasi, Balinisasi, dan lain-lain, yang digulirkan dan dimunculkan sejak dulu sampai sekarang, adalah sebagai wujud telah terjadi rasa ‘isasi’ yang berkecamuk dalam diri masyarakat Hindu di Nusantara khususnya, baik secara personal maupun secara kelompok pada komunitas daerah atau etnis itu. Upaya untuk menemukan titik temu dari sorotan dan permasalahan yang mengemuka itu pun telah dilakukan oleh para bramanacarya ataupun para cendekia baik pribadi sebagai pemerhati maupun secara kelembagaaan yang diberikan kewenangan untuk mengatur tatatan kehidupan keagamaan Hindu,  agar tercipta moderasi di intern masyarakat Hindu yang berlandaskan satyam, siwam, sundaram. Konsep ‘desa, kala dan patra, konsep kuantitas ‘nista, madya, utama, dan konsep kualitas, yaitu satwika, rajasika dan tamasika dari pelakasanaan ritual keagamaan Hindu dibumikan ditengah-tengah masyarakat Hindu, dengan tujuan agar ada standarisasi fisik matrial secara kuantitas maupun kualitas.

Sebagai umat Hindu semestinya sorotan ataupun pembahasan atas sebuah permasalahan yang ditimbulkan dari pelaksanaan ritual keagamaan Hindu itu, tidak hanya diarahkan ataupun berkutat pada dimensi fisik matrial dari pelaksanaan ritual itu. Karena faktanya sampai saat ini, pelaksanaan ritual keagamaan Hindu masih tetap eksis walaupun tetap menjadi sorotan dalam pelaksanaannya bagi generasi postmodern ataupun generasi milenial saat ini, bahkan sudah menjadi komoditi politik hegemoni teo geneologis, teo etnologi, teo ideologis, serta bisnis agama pun keimanan/kepercayaan bagi kaum misionaris.

Pada tulisan ini, bukan untuk membahas hal-hal yang masih berkutat pada pembicaraan fisik matrial ritual keagamaan Hindu seperti yang dikemukakan tersebut, melainkan mencoba menemukenali apa yang menjadi landasan atau matra, bahkan apa yang menjadi kebutuhan hidup bagi masyarakat Hindu untuk tetap melakukan ritus/ritual keagamaan Hindu itu. Tulisan ini mengajak sejenak, untuk tidak menyoroti ataupun memepermasalahkan ritus atau ritual keagamaan Hindu yang dikaitkan dengan hal-hal seperti; kearifan lokal daerah dan atau etnis, mazab, sekta, sampradaya, parampara, aguru-guron, clan, wangsa, dll, terlebih hal-hal yang berkaitan dengan cibiran ‘menjelimet-ribet, pemborosan, memiskinkan, menghabiskan waktu, dan lain sebagainya, bahkan sampai pada cibiran karena ritual masyarakat Hindu terlalu banyak libur dan tidak bisa bersaing dengan SDM pengangut agama yang lainnya dilingkungan dunia kerjanya. Aahh.., apa memang benar demikian...?.  

Sesuai dengan tema yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu ‘Menemukenali Titik Temu Rasa Kehinduan”. Tema ini diangkat, dimotivasi oleh dimana sampai saat ini tidak sedikit yang melakukan pergerakan melebel identitas kehiduannya sesuai dengan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh sebuah komunitas daerah dan atau etnis. Bahkan pembicaraan justru sudah mengarah pada sebuah sikap bahwa;  Ini dan Itu yang dilakukan oleh aku, dia dan mereka, apakah menu hidangannya dengan rasa Hindu atau tidak...?, sehingga diperlukan mencari kesamaan dan perbedaan, yaitu apakah laku keagamaan yang selama ini dilakukan benar-benar Hindu atau  tidak..?, atau memang secara teologi atau filsafat, teo-geneologis, teo-etnologi, teo-ideologis, dll, memang murni sebuah agama yang bukan Hindu atau tidak diilhami oleh ajaran Agama Hindu dengan Weda yang terkodifikasi sebagai Kitab Suci-nya. Ataukah mungkin selama ini merasa bahwa tradisi keagamaan yang dilakukannya seakan-akan tidak terakomodir dalam sebuah frame work tatanan keagamaan dan keberagamaan Hindu yang sedang berjalan..?, hanyalah dibalik pergerakan itu yang dapat menjawabnya. Terhadap hal ini, para cendekiawan Hindu terus berusaha untuk mengelaborasi nilai-nilai yang telah hidup dan berkembang dari pelaksanaan ritus atau ritual keagamaan Hindu dimanapun masyarakat Hindu itu berada. Elaborasi dengan menggunakan pendekatan Teologi-Filsafat, Arkeologi-Historis, Efigrafi-Filologi, Politik-Antropologi, dan lain-lain, yang semuanya itu memiliki semangat untuk mencari benang merah agar tumbuh sraddha bhakti terhadap rasa kehinduan itu.

Berdasarkan uraian diatas, maka sebagai bahan renungan sesuai dengan tema yang diangkat, diantaranya:

1. Lima Hukum Hindu menurut Manawa Dharmasastra, yaitu Sruti, Smerti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Dibagian manakah dari kelima sumber hukum Hindu itu bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya yang tidak terakomodir oleh kelima hukum Hindu itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

2.   Sanathana Dharma-Waidika Dharma (Agama Hindu) di NKRI tatanan kehidupan keagamaannya terlembagakan dengan menempatkan PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu, sedangkan Negara hadir untuk memberikan payung hukum terhadap warga negaranya, yaitu Berketuhanan Yang Maha Esa sebagai pemeluk Agama atau Kepercayaan ( UUD1945 Pasal 1 dan 2). Apakah secara Teologi-Filsafat, Arkeologi-Historis, Efigrafi-Filologi, Politik-Antropologi, Teo Geneologis, Teo Etnologi, Teo Ideologis, dll, bagi masyarakat Hindu dari apapun Nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya yang tidak terakomodir oleh PHDI ataupun oleh Negara (Kementerian Agama)  sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

3.    Sanathana Dharma-Waidika Dharma (Agama Hindu) di NKRI tatanan kehidupan keagamaannya terlembagakan dengan menempatkan PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu. PHDI telah memformulakan tatananan kehidupan keagamaan Hindu di NKRI, di antaranya:

·  Kitab Suci Agama Hindu adalah Weda dengan kodifikasinya pun susastra sucinya. Apakah Kitab Suci yang dimiliki oleh masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Kodifikasi Weda dan Susastra sucinya itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

· Warangka atau Kerangka Dasar Agama Hindu adalah Tattwa, Susila, Upacara. Apakah Kerangka Dasar Agama Hindu yang ditetapkan itu bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya, adakah yang tidak terakomodir oleh ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·  Tempat Suci Agama Hindu adalah diberi Nama Pura / Kuil / Sanggah,Merajan, dll, dengan segala totalitasnya seperti prosesi pendiriannya, bentuk pura dan mandala, peresmian, pemeliharaan, dll. Apakah Nama-Nama Tempat yang disucikan dan segala totalitas yang dimaksud yang dimiliki oleh masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh nama-nama tempat suci dan segala totalitas yang dimaksud itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·  Panca Sraddha dan Panca Yajna dengan segala totalitas dari kata SRAD dan DHA itu, kemudian diimplementasikan dengan Tri Kerangka Dasar (Tattwa, Susila, Acara), Catur Guru, Catur Marga, Tri Pramana, Tri Kaya Parisudha. dll. Apakah Panca Sraddha dan Panca Yajna bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Panca Sraddha dan Panca Yajna itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·   Mantra, Sloka, Puja, Seha, Gita, Yantra, Tantra, Niyasa, Banten, dll. dengan  bhisama Desa, Kala, Patra oleh PHDI. Apakah beberapa hal yang telah disebutkan tersebut  bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Mantra, Sloka, Puja, Seha, Gita, Yantra, Tantra, Niyasa, Banten, dll. itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·   Wadah bersama dalam Komunitas Hindu dalam sebuah wilayah atau desa, selama ini bersama-sama dalam aktivitas agama dan keagamaannya dalam sebuah wadah bersama, diantaranya : Desa Pakraman, Paguyuban, Banjar, dll dengan segala totalitas stuktur Spiritual dan Sosialnya. Apakah beberapa hal yang telah disebutkan tersebut  bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh dalam sebuah wadah bersama itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.  
·      Dan seterusnya...

Dari beberapa renungan di atas, dimanakah sesungguhnya semangat dari pergerakan menggali pun membuat formula yang baru itu..?. Pertanyaan ini diajukan pada tulisan ini, bukan sebagai bentuk anti perubahan terhadap tananan yang telah ada atau anti atas sebuah perjuangan esistensi nilai yang telah diyakini dan telah mentradisi selama ini bagi masyarakat Hindu di daerah manapun itu. Tetapi lebih pada,bahwa agar kita bersama-sama melek, bahwa tanpa membicarakan perbedaanpun sesungguhnya kita telah berbeda sejak lahir, tanpa melebel diri dengan sebuah tradisi agama pun sesungguhnya sejak lahir kita telah memiliki tradisi agama/dharma. Itulah makanya para leluhur kita telah mengikrarkan perbedaaan itu dengan sebuah sesanti : Bhineka Tunggal Ika. Pesan seshanti ini kalau kita mau menyadari bahwa pembicaraan ataupun niatan untuk merekontruksi tatanan dengan semangat keragaman dalam kesatuan bukan penekanannya pada perbedaan atau mencari perbedaan yang kemudian diangkat menjadi sebuah identitas yang berujung pada sebuah sekat, melainkan bagaimana kita dapat menyadari dan menemukenali kata ‘Tunggal Ika’. Sanatana dan Nutana telah memberikan ruang terjadinya sebuah peremajaan.

Tunggal Ika dari beberapa renungan di atas, hematnya menurut tulisan ini adalah, semua emosi keagamaan Hindu yang tercurah lewat Sraddha, Tattwa, Susila, Acara dan Sadhana Hindu melalui pendekatan samhāra, yaitu bahwa titik temu rasa kehinduan ada pada serangkaian nilai-nilai dari sejak lahir sampai meninggalkan dunia, yaitu “Penyucian, Penebusan, Penyalamatan, Pemuliaan, Penyatuan, Pembebasan dari Samsara sebuah kelahiran menuju keilahian (Satyam, Siwam, Sundaram), dengan dimensi Tri Kona sesuai ajaran Tri Hita Karana, yang kemudian Kemasan menjadi “JAGADHITA DAN MOKSA”.  


Om Loka Samastha Sukhino Bhavantu,
Om Santih, Santih, Santih Om.
Unaaha, 13 September 2020
Mendrajyothi (INS)