BINDU KONAWE - MEDIA INFORMASI

SLOGAN BLOG BINDU KONAWE

<<SELAMAT DATANG DI BINDU KONAWESELAMAT DATANG DI BINDU KONAWE >>

Minggu, 13 September 2020

“Renungan: Menemu Kenali Titik Temu Rasa Kehinduan”


“Renungan: Menemu Kenali Titik Temu Rasa Kehinduan”
Oleh : Mendrajyothi (INS)
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Mendrajyothi
Om swastyastu,

Kehidupan keagamaan masyarakat Hindu sampai saat ini yang paling banyak disoroti bahkan oleh masyarakat Hindu itu sendiri, adalah pelaksanaan ritus atau ritual keagamaan Hindu. Terjadinya stagnasi yang hanya pada sorotan fisik matrial dari ritual keagamaan Hindu, ditandai oleh wacana dimana kerap kali pelaksanaan dari ritual itu dikaitkan dengan kondisi ekonomi masyarakat Hindu dan kondisi yang lainnya. Bahkan tidak hanya sampai di situ, pelakasanaan ritual keagamaan Hindu secara fisik matrial kerap kali pula dipermasalahkan dengan tampilannya yang berbeda-beda antara daerah dan atau etnis yang satu dengan daerah dan atau etnis yang lainnya sebagai sesama pemeluk Hinduisme, pada konteks ini bila terjadi ritual keagamaan Hindu pada sebuah daerah dan atau etnis tertentu dianggap sebagai sebuah gerakan yang revolusioner terhadap sebuah tradisi adat istiadat yang telah mentradisi secara turun-temurun di dearah dan atau bagi etnis itu. Istilah ‘Indianisasi, Jawanisasi, Balinisasi, dan lain-lain, yang digulirkan dan dimunculkan sejak dulu sampai sekarang, adalah sebagai wujud telah terjadi rasa ‘isasi’ yang berkecamuk dalam diri masyarakat Hindu di Nusantara khususnya, baik secara personal maupun secara kelompok pada komunitas daerah atau etnis itu. Upaya untuk menemukan titik temu dari sorotan dan permasalahan yang mengemuka itu pun telah dilakukan oleh para bramanacarya ataupun para cendekia baik pribadi sebagai pemerhati maupun secara kelembagaaan yang diberikan kewenangan untuk mengatur tatatan kehidupan keagamaan Hindu,  agar tercipta moderasi di intern masyarakat Hindu yang berlandaskan satyam, siwam, sundaram. Konsep ‘desa, kala dan patra, konsep kuantitas ‘nista, madya, utama, dan konsep kualitas, yaitu satwika, rajasika dan tamasika dari pelakasanaan ritual keagamaan Hindu dibumikan ditengah-tengah masyarakat Hindu, dengan tujuan agar ada standarisasi fisik matrial secara kuantitas maupun kualitas.

Sebagai umat Hindu semestinya sorotan ataupun pembahasan atas sebuah permasalahan yang ditimbulkan dari pelaksanaan ritual keagamaan Hindu itu, tidak hanya diarahkan ataupun berkutat pada dimensi fisik matrial dari pelaksanaan ritual itu. Karena faktanya sampai saat ini, pelaksanaan ritual keagamaan Hindu masih tetap eksis walaupun tetap menjadi sorotan dalam pelaksanaannya bagi generasi postmodern ataupun generasi milenial saat ini, bahkan sudah menjadi komoditi politik hegemoni teo geneologis, teo etnologi, teo ideologis, serta bisnis agama pun keimanan/kepercayaan bagi kaum misionaris.

Pada tulisan ini, bukan untuk membahas hal-hal yang masih berkutat pada pembicaraan fisik matrial ritual keagamaan Hindu seperti yang dikemukakan tersebut, melainkan mencoba menemukenali apa yang menjadi landasan atau matra, bahkan apa yang menjadi kebutuhan hidup bagi masyarakat Hindu untuk tetap melakukan ritus/ritual keagamaan Hindu itu. Tulisan ini mengajak sejenak, untuk tidak menyoroti ataupun memepermasalahkan ritus atau ritual keagamaan Hindu yang dikaitkan dengan hal-hal seperti; kearifan lokal daerah dan atau etnis, mazab, sekta, sampradaya, parampara, aguru-guron, clan, wangsa, dll, terlebih hal-hal yang berkaitan dengan cibiran ‘menjelimet-ribet, pemborosan, memiskinkan, menghabiskan waktu, dan lain sebagainya, bahkan sampai pada cibiran karena ritual masyarakat Hindu terlalu banyak libur dan tidak bisa bersaing dengan SDM pengangut agama yang lainnya dilingkungan dunia kerjanya. Aahh.., apa memang benar demikian...?.  

Sesuai dengan tema yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu ‘Menemukenali Titik Temu Rasa Kehinduan”. Tema ini diangkat, dimotivasi oleh dimana sampai saat ini tidak sedikit yang melakukan pergerakan melebel identitas kehiduannya sesuai dengan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh sebuah komunitas daerah dan atau etnis. Bahkan pembicaraan justru sudah mengarah pada sebuah sikap bahwa;  Ini dan Itu yang dilakukan oleh aku, dia dan mereka, apakah menu hidangannya dengan rasa Hindu atau tidak...?, sehingga diperlukan mencari kesamaan dan perbedaan, yaitu apakah laku keagamaan yang selama ini dilakukan benar-benar Hindu atau  tidak..?, atau memang secara teologi atau filsafat, teo-geneologis, teo-etnologi, teo-ideologis, dll, memang murni sebuah agama yang bukan Hindu atau tidak diilhami oleh ajaran Agama Hindu dengan Weda yang terkodifikasi sebagai Kitab Suci-nya. Ataukah mungkin selama ini merasa bahwa tradisi keagamaan yang dilakukannya seakan-akan tidak terakomodir dalam sebuah frame work tatanan keagamaan dan keberagamaan Hindu yang sedang berjalan..?, hanyalah dibalik pergerakan itu yang dapat menjawabnya. Terhadap hal ini, para cendekiawan Hindu terus berusaha untuk mengelaborasi nilai-nilai yang telah hidup dan berkembang dari pelaksanaan ritus atau ritual keagamaan Hindu dimanapun masyarakat Hindu itu berada. Elaborasi dengan menggunakan pendekatan Teologi-Filsafat, Arkeologi-Historis, Efigrafi-Filologi, Politik-Antropologi, dan lain-lain, yang semuanya itu memiliki semangat untuk mencari benang merah agar tumbuh sraddha bhakti terhadap rasa kehinduan itu.

Berdasarkan uraian diatas, maka sebagai bahan renungan sesuai dengan tema yang diangkat, diantaranya:

1. Lima Hukum Hindu menurut Manawa Dharmasastra, yaitu Sruti, Smerti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Dibagian manakah dari kelima sumber hukum Hindu itu bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya yang tidak terakomodir oleh kelima hukum Hindu itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

2.   Sanathana Dharma-Waidika Dharma (Agama Hindu) di NKRI tatanan kehidupan keagamaannya terlembagakan dengan menempatkan PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu, sedangkan Negara hadir untuk memberikan payung hukum terhadap warga negaranya, yaitu Berketuhanan Yang Maha Esa sebagai pemeluk Agama atau Kepercayaan ( UUD1945 Pasal 1 dan 2). Apakah secara Teologi-Filsafat, Arkeologi-Historis, Efigrafi-Filologi, Politik-Antropologi, Teo Geneologis, Teo Etnologi, Teo Ideologis, dll, bagi masyarakat Hindu dari apapun Nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya yang tidak terakomodir oleh PHDI ataupun oleh Negara (Kementerian Agama)  sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

3.    Sanathana Dharma-Waidika Dharma (Agama Hindu) di NKRI tatanan kehidupan keagamaannya terlembagakan dengan menempatkan PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu. PHDI telah memformulakan tatananan kehidupan keagamaan Hindu di NKRI, di antaranya:

·  Kitab Suci Agama Hindu adalah Weda dengan kodifikasinya pun susastra sucinya. Apakah Kitab Suci yang dimiliki oleh masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Kodifikasi Weda dan Susastra sucinya itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

· Warangka atau Kerangka Dasar Agama Hindu adalah Tattwa, Susila, Upacara. Apakah Kerangka Dasar Agama Hindu yang ditetapkan itu bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya, adakah yang tidak terakomodir oleh ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·  Tempat Suci Agama Hindu adalah diberi Nama Pura / Kuil / Sanggah,Merajan, dll, dengan segala totalitasnya seperti prosesi pendiriannya, bentuk pura dan mandala, peresmian, pemeliharaan, dll. Apakah Nama-Nama Tempat yang disucikan dan segala totalitas yang dimaksud yang dimiliki oleh masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh nama-nama tempat suci dan segala totalitas yang dimaksud itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·  Panca Sraddha dan Panca Yajna dengan segala totalitas dari kata SRAD dan DHA itu, kemudian diimplementasikan dengan Tri Kerangka Dasar (Tattwa, Susila, Acara), Catur Guru, Catur Marga, Tri Pramana, Tri Kaya Parisudha. dll. Apakah Panca Sraddha dan Panca Yajna bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Panca Sraddha dan Panca Yajna itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·   Mantra, Sloka, Puja, Seha, Gita, Yantra, Tantra, Niyasa, Banten, dll. dengan  bhisama Desa, Kala, Patra oleh PHDI. Apakah beberapa hal yang telah disebutkan tersebut  bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Mantra, Sloka, Puja, Seha, Gita, Yantra, Tantra, Niyasa, Banten, dll. itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·   Wadah bersama dalam Komunitas Hindu dalam sebuah wilayah atau desa, selama ini bersama-sama dalam aktivitas agama dan keagamaannya dalam sebuah wadah bersama, diantaranya : Desa Pakraman, Paguyuban, Banjar, dll dengan segala totalitas stuktur Spiritual dan Sosialnya. Apakah beberapa hal yang telah disebutkan tersebut  bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh dalam sebuah wadah bersama itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.  
·      Dan seterusnya...

Dari beberapa renungan di atas, dimanakah sesungguhnya semangat dari pergerakan menggali pun membuat formula yang baru itu..?. Pertanyaan ini diajukan pada tulisan ini, bukan sebagai bentuk anti perubahan terhadap tananan yang telah ada atau anti atas sebuah perjuangan esistensi nilai yang telah diyakini dan telah mentradisi selama ini bagi masyarakat Hindu di daerah manapun itu. Tetapi lebih pada,bahwa agar kita bersama-sama melek, bahwa tanpa membicarakan perbedaanpun sesungguhnya kita telah berbeda sejak lahir, tanpa melebel diri dengan sebuah tradisi agama pun sesungguhnya sejak lahir kita telah memiliki tradisi agama/dharma. Itulah makanya para leluhur kita telah mengikrarkan perbedaaan itu dengan sebuah sesanti : Bhineka Tunggal Ika. Pesan seshanti ini kalau kita mau menyadari bahwa pembicaraan ataupun niatan untuk merekontruksi tatanan dengan semangat keragaman dalam kesatuan bukan penekanannya pada perbedaan atau mencari perbedaan yang kemudian diangkat menjadi sebuah identitas yang berujung pada sebuah sekat, melainkan bagaimana kita dapat menyadari dan menemukenali kata ‘Tunggal Ika’. Sanatana dan Nutana telah memberikan ruang terjadinya sebuah peremajaan.

Tunggal Ika dari beberapa renungan di atas, hematnya menurut tulisan ini adalah, semua emosi keagamaan Hindu yang tercurah lewat Sraddha, Tattwa, Susila, Acara dan Sadhana Hindu melalui pendekatan samhāra, yaitu bahwa titik temu rasa kehinduan ada pada serangkaian nilai-nilai dari sejak lahir sampai meninggalkan dunia, yaitu “Penyucian, Penebusan, Penyalamatan, Pemuliaan, Penyatuan, Pembebasan dari Samsara sebuah kelahiran menuju keilahian (Satyam, Siwam, Sundaram), dengan dimensi Tri Kona sesuai ajaran Tri Hita Karana, yang kemudian Kemasan menjadi “JAGADHITA DAN MOKSA”.  


Om Loka Samastha Sukhino Bhavantu,
Om Santih, Santih, Santih Om.
Unaaha, 13 September 2020
Mendrajyothi (INS)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar