“Renungan:
Menemu Kenali Titik Temu Rasa Kehinduan”
Oleh : Mendrajyothi (INS)
Om swastyastu,
Kehidupan
keagamaan masyarakat Hindu sampai saat ini yang paling banyak disoroti bahkan oleh
masyarakat Hindu itu sendiri, adalah pelaksanaan ritus atau ritual keagamaan
Hindu. Terjadinya stagnasi yang hanya
pada sorotan fisik matrial dari ritual keagamaan Hindu, ditandai oleh wacana dimana
kerap kali pelaksanaan dari ritual itu dikaitkan dengan kondisi ekonomi masyarakat
Hindu dan kondisi yang lainnya. Bahkan tidak hanya sampai di situ, pelakasanaan
ritual keagamaan Hindu secara fisik matrial kerap kali pula dipermasalahkan dengan
tampilannya yang berbeda-beda antara daerah dan atau etnis yang satu dengan
daerah dan atau etnis yang lainnya sebagai sesama pemeluk Hinduisme, pada
konteks ini bila terjadi ritual keagamaan Hindu pada sebuah daerah dan atau
etnis tertentu dianggap sebagai sebuah gerakan yang revolusioner terhadap
sebuah tradisi adat istiadat yang telah mentradisi secara turun-temurun di
dearah dan atau bagi etnis itu. Istilah ‘Indianisasi, Jawanisasi, Balinisasi,
dan lain-lain, yang digulirkan dan dimunculkan sejak dulu sampai sekarang,
adalah sebagai wujud telah terjadi rasa ‘isasi’ yang berkecamuk dalam diri
masyarakat Hindu di Nusantara khususnya, baik secara personal maupun secara
kelompok pada komunitas daerah atau etnis itu. Upaya untuk menemukan titik temu
dari sorotan dan permasalahan yang mengemuka itu pun telah dilakukan oleh para bramanacarya ataupun para cendekia baik pribadi
sebagai pemerhati maupun secara kelembagaaan yang diberikan kewenangan untuk
mengatur tatatan kehidupan keagamaan Hindu, agar tercipta moderasi di intern masyarakat
Hindu yang berlandaskan satyam, siwam,
sundaram. Konsep ‘desa, kala dan patra’, konsep kuantitas ‘nista,
madya, utama, dan konsep kualitas, yaitu satwika, rajasika dan tamasika
dari pelakasanaan ritual keagamaan Hindu dibumikan ditengah-tengah masyarakat
Hindu, dengan tujuan agar ada standarisasi fisik matrial secara kuantitas maupun
kualitas.
Sebagai umat
Hindu semestinya sorotan ataupun pembahasan atas sebuah permasalahan yang
ditimbulkan dari pelaksanaan ritual keagamaan Hindu itu, tidak hanya diarahkan
ataupun berkutat pada dimensi fisik matrial dari pelaksanaan ritual itu. Karena
faktanya sampai saat ini, pelaksanaan ritual keagamaan Hindu masih tetap eksis walaupun
tetap menjadi sorotan dalam pelaksanaannya bagi generasi postmodern ataupun
generasi milenial saat ini, bahkan sudah menjadi komoditi politik hegemoni teo
geneologis, teo etnologi, teo ideologis, serta bisnis agama pun
keimanan/kepercayaan bagi kaum misionaris.
Pada tulisan
ini, bukan untuk membahas hal-hal yang masih berkutat pada pembicaraan fisik
matrial ritual keagamaan Hindu seperti yang dikemukakan tersebut, melainkan
mencoba menemukenali apa yang menjadi landasan atau matra, bahkan apa yang
menjadi kebutuhan hidup bagi masyarakat Hindu untuk tetap melakukan ritus/ritual
keagamaan Hindu itu. Tulisan ini mengajak sejenak, untuk tidak menyoroti ataupun
memepermasalahkan ritus atau ritual keagamaan Hindu yang dikaitkan dengan hal-hal
seperti; kearifan lokal daerah dan atau etnis, mazab, sekta, sampradaya, parampara, aguru-guron, clan, wangsa, dll, terlebih hal-hal yang
berkaitan dengan cibiran ‘menjelimet-ribet, pemborosan, memiskinkan,
menghabiskan waktu, dan lain sebagainya, bahkan sampai pada cibiran karena
ritual masyarakat Hindu terlalu banyak libur dan tidak bisa bersaing dengan SDM
pengangut agama yang lainnya dilingkungan dunia kerjanya. Aahh.., apa memang benar demikian...?.
Sesuai dengan tema
yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu ‘Menemukenali Titik Temu Rasa Kehinduan”.
Tema ini diangkat, dimotivasi oleh dimana sampai saat ini tidak sedikit yang
melakukan pergerakan melebel identitas kehiduannya sesuai dengan tradisi keagamaan
yang dilakukan oleh sebuah komunitas daerah dan atau etnis. Bahkan pembicaraan
justru sudah mengarah pada sebuah sikap bahwa; Ini dan Itu yang dilakukan oleh aku, dia dan
mereka, apakah menu hidangannya dengan rasa Hindu atau tidak...?, sehingga diperlukan
mencari kesamaan dan perbedaan, yaitu apakah laku keagamaan yang selama ini
dilakukan benar-benar Hindu atau tidak..?,
atau memang secara teologi atau filsafat, teo-geneologis, teo-etnologi, teo-ideologis,
dll, memang murni sebuah agama yang bukan Hindu atau tidak diilhami oleh ajaran
Agama Hindu dengan Weda yang terkodifikasi sebagai Kitab Suci-nya. Ataukah
mungkin selama ini merasa bahwa tradisi keagamaan yang dilakukannya seakan-akan
tidak terakomodir dalam sebuah frame work tatanan keagamaan dan keberagamaan
Hindu yang sedang berjalan..?, hanyalah dibalik pergerakan itu yang dapat
menjawabnya. Terhadap hal ini, para cendekiawan Hindu terus berusaha untuk
mengelaborasi nilai-nilai yang telah hidup dan berkembang dari pelaksanaan
ritus atau ritual keagamaan Hindu dimanapun masyarakat Hindu itu berada. Elaborasi
dengan menggunakan pendekatan Teologi-Filsafat, Arkeologi-Historis, Efigrafi-Filologi,
Politik-Antropologi, dan lain-lain, yang semuanya itu memiliki semangat untuk
mencari benang merah agar tumbuh sraddha
bhakti terhadap rasa kehinduan itu.
Berdasarkan uraian
diatas, maka sebagai bahan renungan sesuai dengan tema yang diangkat,
diantaranya:
1. Lima
Hukum Hindu menurut Manawa Dharmasastra,
yaitu Sruti, Smerti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Dibagian manakah dari kelima
sumber hukum Hindu itu bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya,
etnis, dan keaslian daerahnya yang tidak terakomodir oleh kelima hukum Hindu itu,
sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.
2. Sanathana
Dharma-Waidika Dharma
(Agama Hindu) di NKRI tatanan kehidupan keagamaannya terlembagakan dengan menempatkan
PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu, sedangkan Negara hadir untuk
memberikan payung hukum terhadap warga negaranya, yaitu Berketuhanan Yang Maha
Esa sebagai pemeluk Agama atau Kepercayaan ( UUD1945 Pasal 1 dan 2). Apakah
secara Teologi-Filsafat, Arkeologi-Historis, Efigrafi-Filologi, Politik-Antropologi,
Teo Geneologis, Teo Etnologi, Teo Ideologis, dll, bagi masyarakat Hindu dari apapun
Nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya yang tidak
terakomodir oleh PHDI ataupun oleh Negara (Kementerian Agama) sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk
menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.
3.
Sanathana
Dharma-Waidika Dharma
(Agama Hindu) di NKRI tatanan kehidupan keagamaannya terlembagakan dengan menempatkan
PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu. PHDI telah memformulakan tatananan
kehidupan keagamaan Hindu di NKRI, di antaranya:
· Kitab
Suci Agama Hindu adalah Weda dengan kodifikasinya pun susastra sucinya. Apakah Kitab
Suci yang dimiliki oleh masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya,
etnis, dan keaslian daerahnya, adakah
yang tidak terakomodir oleh Kodifikasi Weda dan Susastra sucinya itu, sehingga
diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.
· Warangka atau Kerangka
Dasar Agama Hindu adalah Tattwa, Susila,
Upacara. Apakah Kerangka Dasar Agama Hindu yang ditetapkan itu bagi
masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian
daerahnya, adakah yang tidak terakomodir oleh ketiga kerangka dasar Agama Hindu
itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan
itu..?.
· Tempat
Suci Agama Hindu adalah diberi Nama Pura / Kuil / Sanggah,Merajan, dll, dengan
segala totalitasnya seperti prosesi pendiriannya, bentuk pura dan mandala, peresmian,
pemeliharaan, dll. Apakah Nama-Nama Tempat yang disucikan dan segala totalitas
yang dimaksud yang dimiliki oleh masyarakat Hindu dari apapun nusa dan
bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya, adakah yang tidak terakomodir oleh nama-nama
tempat suci dan segala totalitas yang dimaksud itu, sehingga diperlukan sebuah
formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.
· Panca Sraddha dan Panca Yajna dengan segala totalitas dari
kata SRAD dan DHA itu, kemudian diimplementasikan dengan Tri Kerangka Dasar (Tattwa, Susila, Acara), Catur Guru, Catur Marga, Tri Pramana, Tri
Kaya Parisudha. dll. Apakah Panca
Sraddha dan Panca Yajna bagi
masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian
daerahnya, adakah yang tidak terakomodir
oleh Panca Sraddha dan Panca Yajna itu, sehingga diperlukan
sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.
· Mantra, Sloka, Puja,
Seha, Gita, Yantra, Tantra, Niyasa, Banten, dll. dengan bhisama
Desa, Kala, Patra oleh PHDI. Apakah beberapa hal yang telah disebutkan
tersebut bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan
bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya, adakah yang tidak terakomodir oleh Mantra, Sloka, Puja, Seha, Gita, Yantra, Tantra,
Niyasa, Banten, dll. itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk
menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.
· Wadah
bersama dalam Komunitas Hindu dalam sebuah wilayah atau desa, selama ini
bersama-sama dalam aktivitas agama dan keagamaannya dalam sebuah wadah bersama,
diantaranya : Desa Pakraman, Paguyuban, Banjar, dll dengan segala totalitas
stuktur Spiritual dan Sosialnya. Apakah beberapa hal yang telah disebutkan
tersebut bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan
bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya, adakah yang tidak terakomodir oleh dalam sebuah
wadah bersama itu, sehingga
diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.
·
Dan
seterusnya...
Dari beberapa
renungan di atas, dimanakah sesungguhnya semangat dari pergerakan menggali pun membuat
formula yang baru itu..?. Pertanyaan ini diajukan pada tulisan ini, bukan sebagai
bentuk anti perubahan terhadap tananan yang telah ada atau anti atas sebuah
perjuangan esistensi nilai yang telah diyakini dan telah mentradisi selama ini
bagi masyarakat Hindu di daerah manapun itu. Tetapi lebih pada,bahwa agar kita
bersama-sama melek, bahwa tanpa membicarakan perbedaanpun sesungguhnya kita
telah berbeda sejak lahir, tanpa melebel diri dengan sebuah tradisi agama pun sesungguhnya
sejak lahir kita telah memiliki tradisi agama/dharma. Itulah makanya para
leluhur kita telah mengikrarkan perbedaaan itu dengan sebuah sesanti : Bhineka
Tunggal Ika. Pesan seshanti ini kalau kita mau menyadari bahwa pembicaraan ataupun
niatan untuk merekontruksi tatanan dengan semangat keragaman dalam kesatuan bukan
penekanannya pada perbedaan atau mencari perbedaan yang kemudian diangkat
menjadi sebuah identitas yang berujung pada sebuah sekat, melainkan bagaimana
kita dapat menyadari dan menemukenali kata ‘Tunggal Ika’. Sanatana dan Nutana telah
memberikan ruang terjadinya sebuah peremajaan.
Tunggal Ika dari
beberapa renungan di atas, hematnya menurut tulisan ini adalah, semua emosi keagamaan
Hindu yang tercurah lewat Sraddha,
Tattwa, Susila, Acara dan Sadhana
Hindu melalui pendekatan samhāra, yaitu
bahwa titik temu rasa kehinduan ada pada serangkaian nilai-nilai dari sejak
lahir sampai meninggalkan dunia, yaitu “Penyucian,
Penebusan, Penyalamatan, Pemuliaan, Penyatuan, Pembebasan dari Samsara sebuah kelahiran menuju keilahian
(Satyam, Siwam, Sundaram), dengan dimensi Tri Kona sesuai ajaran Tri
Hita Karana, yang kemudian Kemasan menjadi “JAGADHITA DAN MOKSA”.
Om
Loka Samastha Sukhino Bhavantu,
Om
Santih, Santih, Santih Om.
Unaaha, 13 September 2020
Mendrajyothi (INS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar