![]() |
Keesaan Tuhan dan Peta Wilayah Kognitif Teologi Hindu:
Kajian Pustaka tentang Pluralitas Konsep Teologi dalam Hindu
I Ketut Donder Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar
E-mail: donderjyothi@gmail.com
|
Artikel besumber dari :
‘HARMONI’ Jurnal Multikultural &
Multireligius.
Volume 14, Nomor 2, Mei - Agustus 2015.
Penerbit: Puslitbang Kehidupan
Keagamaan Badan Litbang dan Diklat,
Kementerian Agama RI
Abstract
All religions worship
to one God yet they have different ways to understand and pray. They teach
transcendental concept that is not easy to understand. Therefore, it is
required a knowledgeable spiritual teacher to understand the religion properly.
Different understandings on transcendental concept are caused by different
religious level that someone has. The Hindu sages have solved this problem by
providing two areas of cognitive theology, namely Nirguna Brhman and Satguna
Brahman and each is divided further into their subtheologies. The various Hindu
theologies aim to bring human beings whose different religious level having
same understanding on God. It can avoid misconception on Hindu teaching.
Keywords: God, Area, Cognitive,
Theology, Hindu
Abstrak
Semua agama menyembah Tuhan Yang Maha Esa,
hanya nama-Nya, metode memahami-Nya, dan cara menyembahNya berbeda-beda. Semua
agama mengajarkan hal transendental yang tidak mudah dipahami. Oleh sebab itu,
untuk memahami secara baik dan benar suatu agama membutuhkan panduan seorang
guru yang memiliki pengetahuan yang mapan tentang agama. Keanekaragaman
pemahaman terhadap yang transendental sebagaimana diajarkan dalam semua agama
disebabkan oleh perbedaan tingkat pengetahuan rohani setiap orang. Para bijak
Hindu memberikan solusi terhadap pelan ini dengan membuat dua garis besar peta
wilayah kognitif teologis, yaitu teologi Nirguna Brahman dan teologi Saguna
Brahman, selanjutnya dijabarkan menjadi sub-sub teologi sesuai peta pemahaman
teologi setiap orang. Keragaman teologi diciptakan dalam Hindu bertujuan agar
semua manusia dengan tingkat kerohanian yang berbeda sama-sama memiliki
pemahaman tentang Tuhan. Melalui pemahaman yang benar terhadap teologi Hindu,
seseorang tidak akan salahpaham terhadap Hindu. Kata kunci: Tuhan, Wilayah,
Kognitif, Teologi, Hindu
Pendahuluan
Para
intelektual Hindu harus berpikir serius untuk memberikan penjelasan rasional
tentang berbagai hal, seperti ritual Hindu yang sering mendapat kritikan baik
berasal dari luar muapun dari umat sendiri (Pandit, 2010:128 dan Donder,
2013:1). Artikel ini para intelektual ingin mendorong lebih serius berpikir
tentang Teologi Hindu. Hal ini sesuai dengan tuntutan zaman seiring karakter
dan peradaban masyarakat modern yang dibentuk oleh hasil kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ciri
masyarakat modern dewasa ini adalah rasional dan ilmiah, termasuk ketika
berdialog tentang Tuhan. Mereka membutuhkan jawaban-jawaban ilmiah dan
rasional. Terkait dengan tuntutan karakter masyarakat modern seperti itu, umat
Hindu belum siap berdialog teologis dengan umat agama lain. Hal ini disebabkan
karena berteologi dalam lingkungan umat Hindu termasuk di lingkungan para akademisinya
belum lazim.
Di
lingkungan umat Hindu baik di India maupun di Indonesia (Bali) lebih lazim
berdialog secara fi losofi s daripada berdialog secara teologis. Beberapa guru
besar (profesor) di bidang fi losofi , mereka juga bersikap dingin terhadap
wacana teologi, alasannya karena teologi itu cenderung bersifat dogmatis dan
apologetik. Walaupun pandangan mereka sah-sah saja, namun dalam abad post
modern ini setiap umat beragama (utamanya para tokoh umat) mutlak harus
memahami teologi agama yang dianutnya. Jika mereka tidak memiliki pengetahuan
teologis, maka mereka tidak akan mampu membedakan antara berteologi dan berfi
lsafat. Dialog teologis menggunakan sumber teks kitab suci sebagai
argumentasinya, sedangkan dialog fi losofi
mengandalkan jawaban spekulatif dari pikiran fi losofi secara radikal, dibantu juga oleh pandangan
para filsuf.
Tradisi
para intelektual Hindu yang tidak suka dengan dialog teologis mengakibatkan
sangat langkanya karya intelektual Hindu di bidang teologi, khususnya karya
yang berjudul Teologi Hindu. Berdasarkan data, di India sendiri hanya ada satu
buku Teologi Hindu yang ditulis oleh orang asing, yaitu Dr. Jose Pereira (1976,
1991, 2012), seorang peneliti, penulis dan merangkap sebagai misionaris
Kristen. Ia menyusun Teologi Hindu bersumber pada kitab-kitab Upanisad yang
tidak lain adalah pustaka fi lsafat. Di Indonesia hanya ada empat buku yang
menyinggung tentang Teologi Hindu, keempat buku tersebut ada yang secara
eksplisit berjudul Teologi Hindu dan ada yang bersifat inplisit.
Keempat
buku tersebut adalah, Pertama, buku yang disusun oleh Gde Pudja, M.A., SH.
(1977), dengan judul Teologi Hindu (Brahma Widya), buku ini terlalu kecil
dilihat dari jumlah halamannya yang hanya berjumlah 54 halaman. Buku ini juga
terlalu kecil dilihat dari sudut pandang objek formalnya karena di dalam buku
ini belum ada uraian yang jelas tentang apa dan bagaimana struktur epistemologi
Teologi Hindu itu.
Buku
kedua, adalah buku yang disusun oleh Dr. I Made Titib (2003). Buku ini walaupun
lebih tebal dari buku pertama, yakni 498 halaman, namun di dalamnya hanya 45
halaman membahas secara khusus tentang ketuhanan dalam Hindu. Buku ini juga
belum menunjukkan karakter teologis dan prosedur epistemologi Teologi Hindu
secara jelas dan tegas. Dalam buku ini, objek formal Teologi Hindu juga belum
dibahas secara lugas. Buku ini hanya secara implisit menguraikan tentang
Teologi Hindu, sebab buku ini ditulis dengan judul Teologi dan Simbol-Simbol
dalam Agama Hindu.
Buku
ketiga, adalah buku yang ditulis oleh I Ketut Donder (2006) dengan judul
Brahmavida – Teologi Kasih Semesta. Buku setebal 364 ini di dalamnya terdapat
uraian ontologi, epistemologi dan aksiologi teologi secara umum serta ontologi,
epistemologi dan aksiologi Teologi Hindu. Selain itu dalam buku ini juga terdapat
kritik terhadap bangunan ilmu teologi saat ini yang dikungkung oleh dogmatika
dan apologetika.
Buku
keempat, adalah buku yang juga ditulis oleh I Ketut Donder (2010) berjudul
Teologi – Memasuki Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah Tentang Tuhan Paradigma Sanatana
Dharma. Buku ini merupakan perluasan dari buku sebelumnya. Dalam buku ini
terdapat uraian tentang wilayahwilayah kognitif teologi yang sangat berguna
untuk mempelajari temtang evolusi pemahaman manusia terhadap pengetahuan
ketuhanan (teologi). Perbedaan kognitif teologis pada setiap orang dan kelompok
orang tidak perlu diperdebatkan. Perbedaan cara pandang merupakan esensi dari
isi dunia yang bersifat plural (pluralism). Sesuai dengan karakter dunia yang
plural, maka Teologi Hindu (Brahmavidya) dibangun atas dua cabang utama, yaitu
Teologi Nirguna Brahman dan Teologi Saguna Brahman. Kedua cabang teologi
tersebut dikembangkan dalam berbagai derivasi (cabang, turunan) teologis
berupaya memberikan solusi terhadap konfl ik pemahamn teologis dari semua orang
dalam semua tingkatan umur dan semua tingkatan pengetahuan.
Artikel
ini merupakan jenis studi kualitatif dengan pendekatan teologi Hindu. Studi
kualitatif yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah kualitatif interteks yang
terfokus pada teks (buku) karya Donder (2010) dengan judul Teologi: Memasuki
Gerbang Ilmu Pengetahuan Ilmiah Tentang Tuhan Perspektif Sanatana Dharma.
Alasan tentang fokus studi teks pada buku karya Donder tersebut karena hanya
dalam buku tersebut terdapat perihal uraian secara jelas tentang pluralisme
konsep Teologi Hindu, evolusi kesadaran teologi, yang disebut wilayah-wilayah
teologi. Datadata diperoleh langsung dari teks-teks (buku) yang berkaiatan
dengan teologi Hindu yang selanjutnya diverifi kasi, reduksi, dan kemudian
dianalisis secara deskriptif. Pada bagian terakhir dari studi ini dilakukan
penarikan kesimpulan.
Pembahasan
Kesalahpahaman
terhadap Hindu Akibat Studi Orientalisme
Agama Hindu dengan Veda sebagai kitab sucinya merupakan agama paling tua
di dunia (Bleeker, 2004:7). Sivānanda menyatakan bahwa: Veda merupakan pustaka
suci tertua dalam kepustakaan umat manusia. Veda merupakan sumber utama dari
agama. Sejak dahulu kala Veda hanya dilapalkan, namun abadabad belakangan
setelah manusia mulai berkurang kualitas daya hafalnya, maka Veda mulai
dituliskan. Veda bersifat abadi dan tanpa pribadi.
Tanggal
atau waktu turunnya wahyu yang ditulis dalam Veda tidak mungkin dapat diketahui
secara pasti. Para ahli sejarah agama seperti Joachim Wach dan yang lainnya
tidak akan dapat menetapkan secara eksakta waktu turunnya wahyu Tuhan yang
kemudian ditulis di dalam Veda. Sivānanda menambahkan bahwa Veda merupakan kebenaran spiritual abadi, Veda juga
merupakan perwujudan dari pengetahuan ketuhanan. Bukubuku mungkin dapat
dihancurkan tetapi pengetahuan ketuhanan tidak mungkin dapat dimusnahkan.
Pengetahuan itu abadi, sehingga dalam pengertian ini Veda juga abadi (Donder,
2006:v).
Uraian
Sivānanda di atas mempermaklumkan kesulitan para ahli sejarah agama untuk
menetapkan umur Veda. Mereka hanya mampu menyatakan tahunnya secara spekulatif.
Perkiraan dari para ahli sejarah sangat berbedabeda, ada yang memperkirakan
6000 SM, 5000 SM, 4000 SM, 1500 SM dan bahkan ada yang memperkirakan 400 SM,
selisih perbedaannya hingga ribuan tahun sehingga tampak sebagai suatu yang
sangat tidak masuk akal (Donder, 2004:5 dan 2010:413). Swami Prakashnanda
Saraswati menyatakan bahwa kegamangan dan kekaburan pengetahuan-pengetahuan Hindu
ini disebabkan oleh usaha penghancuran sejarah dan kitab-kitab Hindu oleh
penjajah Inggris melalui organisasi Asiatic Society yang lebih dikenal dengan
kajian-kajian Orientalism (Saraswati, 2014:245). Hal ini sesuai pendapat
Richard King dan Edward W. Said yang menguraikan Orientalisme yang selalu
mengacu pada wacana-wacana khusus untuk mengkonseptualisasi Timur (Said,
2010:3), menyebabkan Timur sangat mudah dikendalikan dan diatur. Orientalis
selalu dikaitkan dengan agenda imperial yang bertujuan untuk mengendalikan atau
menjajah Timur (King, 2001:162). Dokumendokumen tentang usaha Dr. William Jones
sebagai wakil pemerintahan kolonial Inggris di India dan juga sebagai Directur
Asiatic Society yang berobsesi untuk mengkaburkan sekaligus menghancurkan
ajaran Hindu sampai saat ini masih tersimpan di Museum Calcutt a sebagaimana tertulis
dalam buku The True History and The Religion of India karya Swami Prakashananda
Saraswati (2014).
Studi
orientalisme merupakan faktor utama kesalahpahaman terhadap Hindu. Studi
orientalisme telah berhasil merusak pengetahuan sejarah dan kitab-kitab suci
Hindu. Akibatnya, kesalahpahaman tersebut tidak saja dari pihak non-Hindu,
tetapi juga dialami oleh umat Hindu sendiri. Kesalahpahaman tersebut adalah
wajar dan alamiah, sebab kesalahpahaman itu disebabkan ketidaktahuan. Sumber
kesalahpahaman itu adalah ketidaktahuan (Jelantik,1982:44 dan Wisasmaya,
2012:87). Cara untuk mengurangi kesalahpahaman terhadap segala suatu termasuk
terhadap agama adalah mempelajarinya secara objektif, jujur, baik dan benar
melalui sumber yang valid (Jelantik,1982:67 dan Wisasmaya, 2012:104). Hanya
dengan cara demikian maka seseorang akan memiliki pemahaman yang benar terhadap
suatu agama terlebih pada agama Hindu yang penuh dengan penggunaan berbagai
macam simbol yang bertujuan untuk menggambarkan Tuhan yang tak terlukiskan.
Oleh sebab itu agama Hindu adalah agama yang sangat kompleks (Smith, 2004:19)
membutuhkan pemahaman yang mendalam.
Bagi
orang-orang yang tidak memahami Hindu secara mendalam bisa salah sangka
terhadap Hindu. Sebagai contoh, wahyu-wahyu Tuhan yang diperoleh para maharsi
melalui cara samadhi (Bleeker, 2004:9) dianggap bukan wahyu oleh orang-orang
yang tidak memahami agama Hindu.
Hindu
Menyembah Tuhan Yang Maha Esa
Sebagaimana
telah diuraikan bahwa pada dasarnya semua agama menyembah Tuhan Yang Satu dan
Tuhan Yang Sama, karena itu Hindu juga menyembah Tuhan Yang Maha Esa
sebagaimana diyakini oleh semua penganut agama. Hal ini secara eksplisit
tersurat dalam Veda yang menyatakan eko narayanadvityo’sti kascit artinya
’hanya satu Tuhan tidak ada duanya’. Pernyataan lainnya dalam Veda ekam sat
viprah bahuda vadanti artinya ’hanya satu Tuhan tetapi orang bij aksana
menyebutnya dengan banyak nama’ (Sudharta dan Atmaja, 2014:5-6).
Ide
dasar bahwa Hindu adalah agama menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana juga
semua agama sangat jelas terdapat dalam teks-teks suci Hindu, hanyalah pada
penggunaan metode untuk memahamiNya dan cara menyembahNya saja yang berbeda.
Perbedaan tersebut adalah wajar dan dibenarkan oleh Tuhan. Hal tersebut sebagai
wujud cinta dan kasih sayang Tuhan kepada umat manusia yang masing-masing
memiliki perbedaan level pemahaman. Hal tersebut sesuai dengan sloka Bhagavadgῑtā
IV.11 yang berbunyi: ”dari manapun dan dengan cara apapun umat manusia datang
kepada Tuhan akan diterima”. Madrasuta (2010:17) menguraikan bahwa sekalipun
Veda menyatakan Tuhan itu Satu dan hal ini dipertegas lagi dalam Upanisad, tapi
karena Hindu tidak melarang umatnya untuk memuja hanya salah satu aspek, salah
satu sifat, salah satu sinar (Dev) dari Tuhan, maka timbul kesan (sebagai
kesalahpahaman) bahwa Hindu menyembah banyak Tuhan.
Setiap
agama mengajarkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, namun karena Tuhan
bersifat abstrak, metafi sik dan transenden (paravidya), maka Tuhan tidak mudah
untuk dipahami oleh setiap orang, karena itu setiap orang membutuhkan panduan
seorang guru yang mapan. Hal ini sangat relevan dengan uraian pustaka
Sarasamuscaya 40 dan Geguritan Sucita I.XII.40.
Sarasamuscaya
40 menyatakan: ”Kitab Suci takut pada orang bodoh sebab khawatir akan disalahartikan”.
Selanjutnya Geguritan Sucita I.XII.40 menyatakan: ”Karena demikian luhur dan
halusnya isi sastra dan agama, karena itu tidak mudah dipelajari secara
mandiri, karena harus meminta petunjuk dari guru yang mapan. Jika tidak, maka
seseorang bisa sangat bertentangan dengan apa yang dipahaminya” (Krishna,
2015:41; Jelantik,1982:67 dan Wisasmaya, 2012:104).
Menyadari
keanekaragaman kualitas pemahaman akibat perbedaan evolusi dan level kecerdasan
setiap orang dalam memahami yang transendental, maka para bij ak Hindu secara
garis besarnya membuat dua macam teologi. Pertama, teologi Nirguna Brahman,
yaitu teologi yang menjelaskan tentang Tuhan yang tidak dikaitkan dengan
atribut apapun, tidak bisa diasumsikan dengan sifat apapun dan tidak bisa
dibayangkan seperti apapun. Kedua teologi Saguna Brahman adalah teologi yang
menjelaskan tentang Tuhan dengan atribut dan bermanifestasi sebagai sinar-sinar
suci (Dev). Dua macam teologi ini sesuai dengan peta wilayah kognitif pemahaman
teologis manusia yang selanjutnya dij abarkan ke dalam sub-sub peta wilayah
kognisia teologis berdasarkan level pemahaman teologi setiap orang.
Teologi
Hindu dan Kesalahpahaman terhadap Hindu
Kata-kata
Teologi Hindu sampai saat ini masih sangat asing di telinga umat Hindu termasuk
di telinga para intelektual Hindu. Padahal Teologi Hindu mutlak harus dipahami
oleh setiap umat Hindu. Donder (2010) dalam Teologi Sanatana Dharma menguraikan
bahwa pembahasan tentang teologi dalam Hindu sesungguhnya bukanlah sesuatu yang
baru. Bhagavadgita sebagai pustaka Hindu yang sangat tua pada setiap akhir
percakapan selalu ditutup dengan kalimat: Ity śrῑmad
bhagavadgῑtāsupaniatsu brahmavidyāyām .......,
yang artinya: “Inilah wejangan Bhagavadgῑtā, yaitu ilmu tentang Tuhan Yang
Maha Mutlak (teologi).” Kalimat ini diulang sebanyak 18 kali pada setiap akhir
bab Bhagavadgῑtā. Hal tersebut membuktikan bahwa
pembicaraan tentang Brahmavidya atau ilmu ketuhanan (teologi) bukanlah hal baru
dalam khazanah pengetahuan Hindu.
Aryabhatt
a (dalam Titib, 1996:7 dan 2003:7) menyatakan bahwa Bhagavadgῑtā
diwejangkan oleh Sri Krishna saat Bharatayuda yang jatuh pada tanggal 18
Februari 3102 SM, sehingga Teologi Hindu telah dibicarakan sejak 5117 tahun
yang lalu. Sejak lima ribu tahun lebih Teologi Hindu telah dibahas dengan
cakupan teologi yang sangat luas meliputi bidang pengetahuan dan kepercayaan
yang sangat luas pula meliputi segala macam isme yang dianut oleh manusia,
karena itu pula Brahmavidya dapat disebut sebagai Teologi Kasih Semesta
(Donder, 2006; 2010).
Pengkajian
Teologi Hindu mutlak harus dilakukan sebagaimana pustaka Brahma Sūtra I.I.1
menyatakan athāto brahmajij ñāsā yaitu ’penyelidikan ke dalam Brahman harus
dilakukan’ (Śakarācārya, 2011:6). Svami Viresvarananda (dalam Donder, 2010:69)
menyatakan bahwa penyelidikan adalah hal yang sangat penting, karena ada
ketidak-pastian mengenai hal itu, dan kita menemukan berbagai pandangan yang
berlainan bahkan bertentangan mengenai sifat-sifatNya. Hasil penyelidikan itu
akan mampu mengungkap tentang pengetahuan Sang Diri yang selanjutnya membawa
manusia untuk dapat mengalami pembebasan sejati. Karena itu secara aksiologis
penyelidikan tentang Brahman melalui pengujian dengan naskah-naskah Vedanta
yang berkaitan denganNya menjadi sangat penting dan berharga.
Lebih
lanjut, Svami Viresvarananda (dalam Donder 2010: 69) menguraikan bahwa agar
manusia memahami pengetahuan tentang Brahman (Tuhan) secara benar, maka Tuhan
harus diberikan atribut seperti nama atau gelar, manifestasi atau
sifat-sifatNya yang tertentu. Jika Tuhan tidak beratribut maka tidak mungkin
dapat dij angkau oleh manusia suci sekalipun apalagi manusia biasa atau
masyarakat awam. Brahman yang tak terjangkau oleh pengetahuan manusia itu,
masuk dalam wilayah pengetahuan paravidya, pengetahuan ketuhanan atau teologi
pada wilayah pemahaman ini disebut pengetahuan Nirguna Brahma. Tuhan pada
wilayah teologi ini tidak mungkin diajarkan secara umum kepada masyarakat luas
sebagaimana juga diisyaratkan dalam Bhagavadgita X:2 dan XII.5 (Radhakrishnan,
2014: 303 dan 346; Krishna, 2015:389 dan 476).
Pengetahuan
teologi Nirguna Brahma hanya dapat dikuasai oleh sebagian kecil umat manusia
atau hanya dikuasai oleh orang-orang suci (para rsi, yogi, sufi ), yaitu mereka
yang sudah terbebas dari kesadaran fi sik atau kesadaran materi. Orang seperti
itu adalah orang yang setiap detik selalu ingat dan berhubungan dengan Tuhan,
atau dalam setiap tarikan napasnya selalu ada Tuhan yang melampaui batasan
nama, bentuk, atribut, manifestasi, dsb. Sedangkan untuk kebutuhan manusia pada
umumnya, maka para bij ak menciptakan pengetahuan tentang Tuhan yang memiliki
nama, bentuk, atribut dan berbagai manifestasi yang spesifi k sesuai tujuan
pemujaan. Pengetahuan tentang Tuhan dengan atribut ini masuk dalam wilayah
kognitif teologi Saguna Brahma.
Sesungguhnya
teologi Saguna Brahma ini bersifat metodologis agar seluruh umat manusia
mengalami pencerahan dan sampai kepada pengetahuan transenden serta dapat
mengalami hubungan dengan Tuhan. Pada wilayah kognitif teologi Saguna Brahma
inilah munculnya ñyasa atau bentuk-bentuk simbol keagamaan dalam bentuk gambar,
patung, wajah dewa, dsb. Sehingga kehadiran segala bentuk simbol harus dilihat
sebagai sarana atau alat yang digunakan untuk mempermudah aplikasi metode
pengetahuan tentang Tuhan Saguna Brahama. Jika saja setiap orang atau para
penulis buku, pengarang buku, para peneliti, para teolog, dan para ilmuwan
memahami hal ini, maka niscaya tidak akan ada kesalahpahaman dan tudingan yang
sumir terhadap Hindu (Donder, 2010).
Dalam
upaya membangun hubungan yang harmonis antara sesama manusia, maka setiap
penganut agama sangat penting memahami secarai baik dan benar tentang teologi
sebagaimana diajarkan di dalam agama yang dianutnya. Tidak ada iman yang kokoh
tanpa dilandasi oleh pemahaman teologi sesuai dengan agama yang dianutnya.
Artikel yang ditulis Donder (2008:22-23) dalam majalah Media Hindu Jakarta
dengan judul Umat Hindu Mutlak Memahami Teologi Hindu. Pada artikel tersebut
ditulis bahwa ”Semua konversi agama yang selama ini dialami umat Hindu sejak
zaman dulu hingga saat ini merupakan isyarat bahwa Teologi Hindu tidak tertanam
kuat hingga menjadi dasar keyakinan yang kuat terhadap sebagian besar umat
Hindu di Indonesia, India dan khususnya di Bali. Selain itu, setiap penganut
agama penting juga untuk memahami agama lain secara proporsional untuk
membangun sikap dan pikiran yang positif terhadap semua agama sebagai suatu
realitas yang tidak bisa diabaikan.
Wilayah
Teologi Secara Esoteris dan Eksoteris
Frithjof
Schuon membagi umat manusia dalam dua kelompok pemahaman teologis yang
dituangkan dalam sketsa esoteris dan eksoteris sebagaimana gambar (Gbr.1) di
bawah. Schoun (1987) berpendapat bahwa konfl ik tentang Tuhan terjadi pada
masyarakat umum yang belum memiliki pengetahuan teologis yang mapan. Tetapi
pada tataran perspektif spiritualitas agama yang sangat mapan seperti para yogi
dan para sufi tidak ada lagi konfl ik
teologis. Kenyataan ini dapat dianalogikan seperti para pemanjat gunung, mereka
akan melihat pemandangan yang berbeda sesuai dengan lereng gunung yang
dilaluinya. Semua pemandangan yang berbedabeda itu akan terlihat secara
keseluruhan ketika semua pemanjat gunung sampai pada puncak gunung.
Pada
tingkat esoteris semua jalan dan semua cara mendapat penghargaan dan pengakuan
yang sama. Untuk membangun keharmonisan atau kedamaian antarumat beragama, para
pendaki gunung spiritualitas agama yang sudah sampai pada level esoteris
memiliki kewajiban untuk memberi teladan agar umat beragama tidak bertengkar
hanya karena perbedaan lereng gunung agama yang dilalui. Hal ini sangat sesuai
dengan pernyataan Bhagavadgita III.21 (Radhakrishnan, 2014:160 dan Krishna,
2015:163).
![]() |
Sumber: Frithjof Schuon (1987:x) |
Sejalan
dengan pandangan Schuon, Donder (2010:31-33) sesuai dengan fokus artikel ini
menguraikan bahwa ajaran Hindu mengelompokkan seluruh umat manusia dalam dua
kelompok teologis, yaitu kelompok ahli (jñani) dan kelompok awam (ajñani).
Kelompok jñani akan menggunakan teologi Nirguna Brahman, yaitu teologi yang
menjelaskan tentang Tuhan Yang Tidak Diberi Atribut Apapun atau Tuhan Yang
Tidak Termanifestasikan. Sedangkan kelompok ajñani menggunakan teologi Saguna
Brahman, yaitu teologi yang menjelaskan tentang Tuhan yang sebaliknya. Hal ini
relevan dengan tesis Schuon tentang wilayah pemahaman esoteris dan eksoteris.
Berdasarkan
analisis teologis itulah maka muncul konsep dan metode berbeda-beda untuk
menggambarkan Tuhan Yang Sama. Kehadiran konsep Tuhan yang digambarkan seperti
manusia, leluhur, benda-benda kosmis dibutuhkan untuk kelompok awam (ajñani
atau orang pada umumnya). Sedangkan kehadiran konsep Tuhan Yang tidak dapat
dibayangkan seperti apapun adalah konsep teologi untuk para jñani (para resi
atau yogi). Pluralitas teologis yang muncul dalam Hindu untuk menolong umat
manusia yang memiliki berbagai level pengetahuan dan kesadaran spiritual agar
semua manusia secara bersama-sama mencapai yang transendental sebagaimana
(Gbr.2). Jika pluralitas konsep teologi Hindu dipahami secara komprehensif maka
seseorang tidak akan salahpaham terhadap Agama Hindu.
Wilayah-Wilayah
Kognitif Teologis dalam Teologi Hindu
Kepercayaan
seseorang kepada Tuhan atau yang bersifat transendensi ditentukan oleh tingkat
kematangan pengetahuan seseorang tentang konsep Tuhan atau transendensi
tersebut. Semakin mampu seseorang berinsteraksi makin mampu seseorang memahami
hal yang abstrak. Oleh sebab itu pemahaman umat manusia terhadap Tuhan yang
abstrak atau Tuhan yang transenden dapat dikelompokkan dan dipetakan
berdasarkan konsep wilayah-wilayah kognitif teologis (Donder, 2010:31-44).Nirguna
Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Tanpa Wujud (A).
Objek
pertama dan utama Brahmavidya atau teologi adalah Tuhan, Tuhan dalam pengertian
pertama adalah” Tuhan Yang Tidak Dapat Dibatasi oleh Ruang dan Waktu”. Tuhan
dalam defi nisi ini berada pada wilayah tanpa batas (Gbr. 2) yaitu gambar sketsa
ilustrasi yang hendak menggambarkan posisi tentang wacana Tuhan berada pada wilayah
yang diberi simbol (A) (Donder, 2006:13, 2010:33). Oleh sebab itu tidak mungkin
bagi manusia dengan pengetahuan sangat terbatas dapat membatasi Tuhan yang Tak
Terbatas. Tuhan dalam konsep teologi Nirguna Brahma, tidak memiliki bentuk
tertentu, tidak memiliki nama tertentu, tidak dapat dibayangkan sebagai sesuatu
apapun. Brahman atau Tuhan bukan ini atau itu (neti neti) atau Impersonal God.
Selama kita memberi nama apapun namaNya, hal itu telah mendefi nisikan Tuhan
Yang Tak Terbatas ke dalam nama atau bahasa yang terbatas. Hal ini tidak
mungkin, oleh sebab itu Brahmavidya ’Pengetahuan tentang Tuhan’ pada wilayah
ini tidak mengizinkan pemujaNya untuk membayangkan Tuhan yang Tak Terpikirkan
(Acintya) sebagai apapun. Sungguh sangat sulit membayangkan bagaimana cara
memuja Tuhan Yang Tidak Terbayangkan. Kitab suci Hindu dengan lugas
menggambarkan wilayah Tuhan yang Nirguna Brahma (Bhagavadgita X.2; XII.5).
![]() |
Sumber: Donder (2010:34) |
Nirguna
Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Sebagai Simbol (B)
Donder
(2010:116, 2013:60) menguraikan bahwa defi nisi Tuhan sebagai bukan sesuatu,
tidak berwujud sesuatu, tidak mirip dengan apapun menjadi persoalan besar bagi
manusia. Karena manusia tidak dapat memfokuskan pikirannya pada sesuatu yang
tidak berwujud apa-apa. Karena itu, maka muncullah simbol bunyi sebagaimana dilukiskan pada Gbr.
2 dengan huruf AUM OM yang juga dij elaskan dalam Bhagavadgita
X.25, 33. Konsep Tuhan pada wilayah teologi (B), masih termasuk dalam wilayah
teologi Nirguna Brahma atau Tuhan tidak dapat dibayangkan. Sebagai Tuhan yang
tidak dapat dibayangkan, maka Ia sulit dipuja oleh umat manusia pada umumnya,
sebab Tuhan sebagai objek pemujaan sifatnya harus dapat dibayangkan. Aktivitas
pemujaan, persis seperti seorang yang akan memanah, jika pikirannya tidak
terfokuskan maka sasaran pemujaan bisa meleset. Demikian pula hakikat Tuhan
sebagai objek yang disembah oleh manusia, untuk itu orang suci berkenan
memberikan solusi melalui simbol aksara (huruf).
Dari
sekian banyaknya aksara, maka ada 3 (tiga) aksara yang mewakili semuanya itu,
yaitu: pertama, huruf (A) yang karena artikulasinya menyebabkan mulut dalam
posisi terbuka yang mirip dengan tanda “lebih besar” (>) atau tanda lebih
kecil (<) dalam simbol-simbol matematik. Simbol itu diasumsikan sebagai
“saat penciptaan”, karena ada ruang yang terbuka (kosong) yang menjadi tempat
bagi hadirnya ciptaan. Kedua, huruf (U) yang membuat mulut seolah membentuk
simbol union ( ), simbol ini diasumsikan sebagai “saat pemeliharaan”. Dan yang
ketiga, huruf (M) atau jika diguling ke kiri akan membentuk simbol jumlah (Σ),
bentuk simbol ini sama dengan simbol (=), membentuk mulut tertutup rapat yang
mengandung makna sebagai kondisi berakhirnya sesuatu, penutup, atau peleburan.
Ketiga simbol tersebut mengandung hakikat dari Tri Murti (tiga manifestasi
Tuhan sebagai Pencipta, Pemelihara, dan Pelebur), mewakili seluruh
manifestasiNya. Tidak ada kata-kata di dunia dalam bahasa apapun yang dapat
mewakili seluruh manifestasi Tuhan melebih dari kata AUM (Donder, 2010:36,
2013:60).
Nir-saguna
Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Semipribadi (C)
Wilayah
ketiga dari peta wilayah-wilayah pengetahuan ketuhanan (teologi) seperti
terlihat pada (Gbr. 2) di atas adalah wilayah yang ditunjukkan oleh daerah (C)
terdiri dari wilayah (C1 dan C2). Wilayah irisan antara wilayah teologi Nirguna
Brahma (A) dan wilayah teologi Saguna Brahma (E). Sehingga wilayah ini dapat
disebut sebagai wilayah perpaduan antara Nirguna Brahma dan Saguna Brahma.
Wilayah teologis ini dapat disebut sebagai wilayah semi antara Nirguna Brahma
dan Saguna Brahma atau dapat disebut sebagai wilayah teologi Nir-saguna Brahma
atau wilayah yang non-rasional tetapi dapat dideskripsikan secara rasional.
Deskripsi ini termasuk dalam kawasan Tuhan yang tidak dapat dibayangkan, namun
karena kebutuhan manusia, maka penjelasanpenjelasan di wilayah Saguna Brahma
dapat dij adikan sebagai sarana untuk memperkuat deskripsi dan argumenasi
teologi Nirguna Brahma (Donder, 2010:35). Dalam hal ini manusia boleh memahami Tuhan
melalui atribut-atribut nama, warna, dan wujud sesuatu. Apapun nama yang
ditujukan kepada Tuhan adalah simbol sekaligus bentuk, paling tidak dalam
bentuk kata-kata. Chandra Bose (dalam Donder, 2010:37:) dalam karyanya yang
berjudul The Call of Veda mengatakan bahwa nama Tuhan dalam pikiranpun adalah
suatu simbol yang sama esensinya dengan gambar atau patung. Sesungguhnya
teologi dari semua agama berada pada wilayah teologi ini. Jika saja hakikat
teologi seperti ini dipahami oleh para pemeluk agama, maka tidak akan ada
pertengkaran atau pelecehan agama oleh
siapapun hanya karena perbedaan nama Tuhan yang dipujaNya.
Saguna
Brahma, Wilayah Pengetahuan Ketuhanan Berperibadi (D)
Donder
(2010:38) menguraikan bahwa sesungguhnya apa yang disebut oleh teologi Barat
sebagai teologi monotheisme berada pada wilayah teologi Saguna Brahma ini. Dalam monotheisme Barat ini, Tuhan
dibayangkan sebagai laki-laki yang berada jauh (transendent) di suatu tempat
yang disebut sorga. Dari tempat yang jauh itu, Tuhan menguasai dan mengurus
alam semesta berserta seluruh ciptaan-Nya. Toynbee (dalam Madrasuta, 2010:17)
menyatakan bahwa Tuhan Yang Esa dan transenden terpisah atau berada di luar
universum. Selaras dengan Toynbee dalam Hindu, Tuhan sebagai personal God
dilukiskan sebagai sosok manifestasi (para Deva) dengan fungsi atau tugas
masing-masing sesuai dengan sifatNya. Dalam wilayah teologi Saguna Brahma (D),
masih terdapat rasa enggan untuk mengeksplisitkan Tuhan yang personal sebagai
yang benar-benar personal, karena di dalamnya masih ada berbagai pertimbangan
termasuk juga memasukkan unsur Nirguna Brahma.
Wilayah
Saguna Brahma, Tuhan Berperibadi (E)
Di
wilayah-wilayah teologis, maka teologi Saguna Brahma (E) atau teologi yang
mengasumsikan Tuhan menggunakan berbagai macam atribut adalah wilayah teologi yang
paling mudah untuk di dekati oleh nalar manusia. Nalar, atau akal menjadi
sangat penting dan perlu dihargai (Donder, 2010:39). Suyono (2008:157) dalam Reformasi Teologi menyatakan
bahwa ilmu Kalam (Teologi Islam) sejak awal berciri rasional-dialektis. Karena
itu teologi Islam mampu berdialog dengan perkembangan ilmu pengetahuan
kontemporer. Abduh (dalam Suyono, 2008:171) menyatakan bahwa dalam Risalat,
akal diakui sebagai kekuatan atau daya yang dapat membedakan manusia dengan
mahluk lain. Dengan akal manusia dapat mengetahui baik hal-hal konkrit di alam
ini yang harus terus diselidiki, dengan itu bisa menggapai keyakinan adanya
Sang Pencipta maupun hal-hal yang abstrak seperti sifat-sifat Tuhan. Suyona
(2008:172) menguraikan bahwa akal yang dimaksudkan di sini adalah akal yang
berada pada derajat tinggi, bukan akal orang-orang awam. Tingkatan akal
tertinggi yang mendapat limpahan dari Tuhan bisa menjadi pendukung dan penopang
agama yang paling kokoh dan merupakan sumber keyakinan bagi iman yang benar. Sesuai
sifat fi lsafat yang mengandalkan akal secara radikal, maka dalam fi lsafat
Ketuhanan juga ada banyak cara melihat Tuhan.
Uraian
Suyono dan Santoso penting dirujuk pada tulisan ini untuk menunjukkan bahwa
keanekaragaman teologi di antara berbagai agama adalah suatu keniscayaan karena
keanekaragaman itu lahir dari kemampuan akal manusia yang berbedabeda dalam
menggambarkan yang transenden. Sehingga keanekaragaman teologi dalam satu agama
juga merupakan suatu keniscayaan. Perbedaan teologi itu lahir dari tantangan
nyata yang dialami oleh komunitas umat beragama. Dalam rangka memecahkan
persoalan-persoalan teologis yang dialami oleh umat beragama di berbagai
tempat, ruang, dan waktu yang berbeda maka lahirlah perbedaanperbedaan teologi
(Gbr.1 dan Gbr.2). Hal ini dapat menjelaskan keberadaan bermacam-macam teologi
mulai dari praanimisme hingga monoteisme semuanya itu berguna bagi manusia.
Semua bentuk teologi sebagai jawaban atas persolan teologis yang pada akhirnya
dapat dikonsumsi oleh umat manusia sesuai dengan situasi dan kondisi atau
perspektif tempat, ruang, dan waktu. Karena itu para tokoh umat harus menjadi
teladan dalam menghargai perbedaan konsep teologis sesuai sloka Bhagavadgita
III.21 dan Bhagavadgita III.26 (Krishna, 2015:163, 166).
Wilayah
Tuhan Berperibadi (F)
Wilayah
teologi Personal God (F) sebagaimana ditunjukkan pada Gbr.1 dan Gbr.2 di atas
yang terhubung dengan kotak-kotak agama relevan dengan tesis Sch uon tentang
esoteris dan eksoteris. Hal itu menunjukkan bahwa setiap agama memiliki teologi
sendiri (Donder, 2010:43). Objek teologi semua agama adalah sama, yaitu Tuhan
Yang Maha Esa, perbedaannya terletak pada prosedur epistemologisnya. Seharusnya
setiap teologi agama sebagai sebuah ilmu pengetahuan ilmiah tidak membenturkan
prosedur epistemologi yang memang berbeda. Sebuah perspektif pasti akan berbeda
dengan perspektif yang lainnya. Hal terpenting yang harus dipertimbangkan
adalah bahwa apapun pengetahuan teologi itu, harus bermanfaat sebesar-besarnya
dalam mewujudkan rasa damai dan bahagia dalam kehidupan umat manusia. Itulah
aksiologi yang terpenting dari teologi.
Berdasarkan
uraian di atas sangat jelaslah bahwa ontologi atau objek material teologi
adalah Tuhan. Teologi berhadapan dengan objek yang sulit dideskripsikan, yaitu
objektif yang bersifat melampaui realitas (super-realitas) atau nirguna.
Walaupun demikian manusia dengan segenap akalnya berupaya agar dapat memuja
Tuhan secara sungguhsungguh, maka manusia mencetuskan ide-ide metodologi yang
dituangkan dalam prosedur teologi. Melalui prosedur tersebut Tuhan Yang Maha
Abstrak atau Objek Yang Melampaui Realitas (superrealitas), direalisasikan
melalui simbolsimbol yang berkenaan dengan sifat-sifat tertentu yang ada
pada-Nya (saguna).
Dengan
demikain, Tuhan Yang Tak Terbatas, diberikan batasan-batasan tertentu demi
kebutuhan manusia agar umat manusia dapat melaksanakan hubungan dengan Tuhan.
Teologi apapun yang lahir melalui prosedur epistemologis sesuai dengan
pandangan setiap agama adalah hal mulia karena teologi itu sangat membantu umat
manusia dalam mewujudkan hubungan dengan Tuhan. Hubungan dengan Tuhan Yang Tak
Terbatas tidak mudah dilaksanakan oleh manusia yang terbatas (Bhagavadgita
XII.5), sebab para dewa dan para maharsi sekalipun tidak mengenal Tuhan dalam
arti yang sebenar-Nya (Bhagavadgita X.2) sebagaimana kedua sloka Bhagavadgita
tersebut telah dikutif di atas. Jadi kehadiran Tuhan dalam Saguna Brahma
bersifat metodologis. Walaupun Tuhan dalam dimensi Saguna Brahma bersifat
metodis, namun di dalamnya terdapat semua kebenaran absolut ‘mutlak tak
terbantahkan’.
Dalam
masyarakat Hindu Bali, Teologi Saguna Brahman ini dimplementasikan dalam bentuk
ritual yang beraneka macam, seperti ritual Labuh Gentuh (Sukabawa, 2014) bahkan
ritual Tantik Ngerehang Barong (Subagia, 2015) dan berbagai ritual lainya
seperti upacara pemujaan pada berbagai manifestasi Tuhan yang diekspresikan
kepada segmen-segmen alam, termasuk kurban binatang ataupun animal sacrifi ce
(Donder, 2012).
Penutup
Agama
Hindu sebagaimana juga agama-agama lainnya, menyembah Tuhan Yang Maha Esa,
persoalan pokok yang membedakan antara Hindu dan agamaagama lainnya adalah
bahwa secara garis besarnya Hindu memiliki dua macam teologi, yaitu Teologi
Nirguna Brahman, yaitu teologi yang membahas tentang Tuhan yang tidak dapat disamakan
dengan apa saja. Teologi jenis pertama ini bukan ditujukan kepada umat biasa.
Teologi ini hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang memiliki pengetahuan
spiritual yang mapan seperti para rsi, yogi atau para sufi .
Dunia
ini tidak hanya dihuni orang-orang yang mapan pengetahuan spiritualnya, tetapi juga orang-orang biasa. Teologi Saguna
Brahman adalah teologi yang cocok untuk umat manusia pada umumnya. Teologi ini
membolehkan manusia untuk membayangkan Tuhan Yang Tak Terbayangkan. Berdasarkan
konsep Teologi Saguna Brahman inilah kemudian muncul konsep manifestasi Tuhan
dan munculnya simbol-simbol religius untuk membantu manusia dalam mengatasi
kesulitan membayangkan Tuhan.
Menyadari
adanya dua konsep teologi di atas, para tokoh agama harus menjadi teladan dalam
menghargai perbedaan teologi setiap agama. Sikap ini penting karena apapun
dilakukan oleh para tokoh akan diikuti oleh masyarakat dan bahkan oleh dunia.
Daftar
Pustaka
Amin, M. Darori. Konsepsi Manunggaling Kawula Gusti dalam
Kesusastraan Islam Kejawen. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan Kementerian Agama RI, 2011.
Bose, A.C. The Call of Vedas. terj. I Wayan
Maswinara. Surabaya: 2005.
Donder, I Ketut.
Panca Dhatu – Atom, Atma dan Animisme.
Surabaya: Paramita, 2004.
Donder, I Ketut dan I
Ketut Wisarja. Mengenal Agama-Agama.
Surabaya: Paramita, 2010.
Donder, I Ketut dan I
Ketut Wisarja. Teologi Sosial Perspektif
Hindu. Surabaya: Paramita, 2013.
Donder, I Ketut.
”Logical Interpretation of Some Permofming Hindu Rituals.” Thesis Philosophy
Doctor. India: Department of Sanskrit, Faculty of Arts, Rabindra Bharati
University Kolkata, 2013.
Donder, I Ketut. Brahmavidya Teologi Kasih Semesta.
Surabaya: Paramita, 2006.
Donder, I Ketut.
Teologi – Paradigma Sanatana Dharma.
Surabaya: Paramita, 2010. Donder, I Ketut. ”Agama dan Taman Bunga yang Indah,”
Majalah Media Hindu, Februari 2015, hal.46-47.
Donder, I Ketut. “The
Essence of Animal Sacrifi ce in Balinese Hindu Ritual: Discourse Around
Theological, Philosophical, Mythological, Ritual and Scientifi c Phenomenna”
International Journal Multidisciplinary Educational Recearchn, Vol. 1, Issue 4,
September 2012 p.1-27.
Donder, I Ketut. ”Pemikiran Swami Vivekananda Tentang
Pluralisme Agama-Agama,” Majalah Media Hindu, September 2011, hal. 32-33.
Donder, I Ketut.”Umat Hindu Mutlak Harus Memahami Teologi
Hindu,” Majalah Media Hindu, September 2008, hal.22-23.
Jelantik, Ida Ketut. Geguritan Sucita. Surabaya: Paramita,
1982.
Krishnan, Anand, Bhagavad Gita Bagi Orang Modern. Cibubur:
Centre for Vedic and Dharmic Studies, 2015.
Krishnan, Anand. Dvipantara Dharma Sastra-Sarasamuscaya,
Slokantara, Sevaka Dharma. Cibubur: Centre for Vedic and Dharmic Studies,
2015 Madrasuta, Ngakan Made. Tuhan Agama & Negara. Jakarta: Media Hindu,
2010.
Pandit, Bansi. The Hindu Mind – Fundamentals of Hindu
Religion and Philosophy for All Ages. New Delhi: New Age Books, 2009.
Pereira, Jose, Teologi Hindu. Ed. I Ketut Donder.
Surabaya: Paramita, 2012.
Prasoon, Shikant.
Hinduism Eternal Human Religion – Clarifi ed and Simplifi ed. Delhi: Hindologi
Book, 2009.
Puja, I Gde. Bhagavadgita. Surabaya: Paramita, 2013.
Puja, I Gde. Teologi Hindu (Brahma Widya), Surabaya:
1999.
Radhakrishnan, S. The Bhagavadgita. India: HarperCollin Publisher,
2014.
Said, Edward W. Orientalisme – Menggugat Hegemoni Barat dan
Mendudukan Timur Sebagai Subjek. Yogyakarta: 2010.
Śakarācārya. Brahma
Sūtra Bhāya. Kolkata: Advaita Ashram,2011:
Saraswati, Swami
Prakshānanda. Kebenaran Sejarah dan Agama
Hindu, terj. I Ketut Donder. Surabaya: World Hindu Parisad dan Paramita,
2014.
Schuon, Frithjof. Mencari Titik Temu Agama-Agama, terj.
Saafroedin Bahar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1987.
Subagia, I Made. “Ritual Tantrik Ngerehang Barong dan Rangda
Di Desa Pakraman Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung”,
Disertasi Doktor Ilmu Agama. Denpasar: Pascasarjana Institut Hindu Dharma,
2014.
Sudharta, Tjok Rai
dan I Wayan Sukabawa, ”Teo-Ekologi Caru
Labuh Gentuh Di Jalan Tol Bali Mandara Desa Adat Tuban, Kecamatan Kuta Utara,
Kabupaten Badung”,Disertasi Doktor Ilmu Agama. Denpasar: Pascasarjana Institut
Hindu Dharma, 2015.
Suka Yasa, I Wayan. “Rasa: Daya Estetik – Religius Geguritan
Sucita”, Disertasi Doktor Linguistik. Denpasar: Pascasarjana Universitas
Udayana, 2010.
Suka Yasa, I Wayan. “Omkara Pranawa: Aksara, Tatt va, Sastra”,
Penelitian Dosen Program Doktor Universitas Hindu Indonesia, 2015.
Suyono, H. Yusuf, Reformasi Teologi Muhammad QAbduh Vis ậ Vis
Muhammad Iqbal. Semarang: RaSAIL, 2008.
Titib, I Made. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Hindu.
Surabaya: Paramita, 2006 Wisasmaya, Ida Komang. Geguritan Sucita-Subudi Karya
Besar Ida Ketut Jelantik. Surabaya: Paramita, 2012
Unaaha, 18 April 2020
Post By Bindu Konawe (INS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar