BINDU KONAWE - MEDIA INFORMASI

SLOGAN BLOG BINDU KONAWE

<<SELAMAT DATANG DI BINDU KONAWESELAMAT DATANG DI BINDU KONAWE >>

Minggu, 27 September 2020

Pelaksanaan Kegiatan Bantuan Operasional Program Afirmasi Pendidikan Agama dan Keagamaan Pada Masa Pandemi Covid-19 di Pasraman Dharma Aksara

Pelaksanaan Kegiatan  Bantuan  Operasional Program  Afirmasi  Pendidikan  Agama  dan  Keagamaan  Pada  Masa Pandemi  Covid-19 di Pasraman Dharma Aksara

 

Gbr. Dok. Photo Pembiasan Cuci Tangan,
Handsanitizer, Pakai Masker dan Cek Cuhu Badan
Pada Siswa-Siswi Pasraman Dharma Aksara

Om Swastyastu,

Unaaha-Bindu Konawe (Media Informasi Penyelenggara Hindu KanKemenag Kab. Konawe)---Pasraman Dharma Aksara Kec. Padangguni/Abuki, Kab. Konawe,  Prov. Sulawesi Tenggara Melaksanakan Kegiatan  Bantuan  Operasional Program  Afirmasi  Pendidikan  Agama  dan  Keagamaan  Pada  Masa Pandemi  Covid-19 yang diberikan oleh Direktorat Jendral Bimas Hindu Kemenag RI, Sabtu, 26/09/2020. 

 

Gbr. Dok. Pohoto Pemberian Vitamin C dan E
Kepada Siswa-Siswi Pasraman 

Penyelenggara Hindu Kemenag Kab. Konawe I Nengah Sumendra memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan dari pemberian batuan afirmasi kepada pasraman yang dimaksud. Pada kesempatan yang sama pula Sumendra memberikan pembinaan kepada Pengurus, Tenaga Pembina/Guru dan siswa siswi Pasraman Dharma Aksara untuk tetap memperhatikan dan  pentingnya penerapan Protokol Kesehatan dimasa pandemi Covid-19 di Lingkungan Pasraman.

 

Gbr. Dok. Pohoto Pemberian Paket Sembako
Kepada Tenaga Pembina/Guru Pasraman 

Siswa-Siswi yang dapat dihadirkan pada kesempatan ini baru seperempat dari total jumlah siswa-siswi Pasraman Dharma Aksara untuk membatasi jumlah kerumunan, begitu penyampaian dari Guru Pengampu Tingkat SD dan SMP. 

 

Gbr. Dok. Pohoto Pemberian Paket Sembako
Kepada Tenaga Pembina/Guru Pasraman

PHDI Kecamatan I Made Deresta, dan Bendesa Pakraman Alosika I Ketut Danis sebagai Pelindung dan Penasehat dalam Struktur Kepengurusan Pasraman Dharma Aksara menyampaikan terimakasih atas perhatian yang diberikan kepada putra-putri kami dengan diberikannya bantuan operional program afirmasi kepada Pasraman Dharma Aksara, sehingga melalui program ini putra-putri kami mendapatkan edukasi tentang Protokol Kesehatan sebagai Adaptasi Kebiasaan Baru  pada masa pandemi Covid-19, ucapnya. 

 

Gbr. Dok. Photo Bersama 
Beberapa Tenaga Pembina/Guru dan
Siswa-Siswi Pasraman Dharma Aksara

Berikut beberapa dokumentasi photo dari pelaksanaan kegiatan yang dimaksud, yang dilaksanakan di Pura Dalem Desa Pakraman Alosika yang bersebelahan dengan Areal Pasraman Dharma Aksara (INS).

 

Gbr. Dok. Photo Beberapa Tenaga Pembina/Guru
Yang sempat Hadir,  Saat Rapat Intern Bersama
Pengurus Pasraman, Ketua PHDI Kecamatan,
dan Bendesa Pakraman Alosika


Om Santih, Santih, Santih Om

Dok. Bindu Konawe

Post by Bindu Konawe

Unaaha, 28 September 2020

Kamis, 17 September 2020

Lepaskan Derita dan Bangkit Gembira Untuk Membahagiakan Orang Lain

Lepaskan Derita dan Bangkit Gembira Untuk Membahagiakan Orang Lain

Oleh : Puspajyothi

Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Puspajyothi


Om swastyastu,

Semoga semua pikiran, perkataan dan perbuatan membuat semua orang bergembira.

Hawa pagi ini terasa sejuk, bukan dingin. Mendatangkan perasaan damai. Dauh Brahma Muhurtha. Yotir memancarkan sinar dan harum dupa herbal menambah rasa kusuk dan magis. Hasrat untuk memuja sudah membuncah sejak terdengar kelentingan tiga kali di sebuah kantor. Pertanda menjelang dauh, saat yang tepat memuja Brahman sebagai Siwa yang sedang beryoga. Hari ini Buda Kliwon Wuku Dungulan, disebut Hari Raya Galungan, memperingati kemenangan Dharma melawan Adharma. Melakukan perayaan bersembahyang di berbagai pura dengan perasaan penuh suka dan kegembiraan, sebagaimana seseorang yang menang. Penganan beraneka ragam dengan aneka menu yang membuat selera semakin membuncah. Ornamental seindah yang ada.

Memperingati Kemenangan! Setiap hari umat Hindu berjuang untuk tetap di jalan dharma (kebenaran) dalam laku kehidupan. Mengendalikan indera-indera, mengendalikan pikiran, mengendalikan perkataan dan perbuatan. Mengapa? Untuk membuat orang lain gembira dan bahagia (agawe sukaning wong len). Bayangkanlah, bagaimana indah dan damainya sebuah kehidupan dimana setiap orang berusaha membuat orang orang lain selain dirinya BERGEMBIRA-BERBHAGIA. Tidak ada satu orangpun terasa disakiti. Tidak ada satu orangpun terasa diancam dan dicelakai.

Kedamaian hidup inilah yang menjadi idaman setiap manusia, tanpa membedakan latar belakang. Semua ingin damai. Umat Hindu mencerminkan sikap itu sejak mulai menyiapkan Perayaan Galungan, tiada hari tanpa kegembiraan dan senyum. Kegembiraan dan senyum hanya dapat mewujud manakla manusia telah dapat memenuhi dan memuaskan keinginannya (kama). Kebahagian baru hadir dan mengendap lama bila seseorang mampu mengendalikan keiinginannya. Agar keinginan terarah pada apa yang menjadi kebutuhannya saja. Orang boleh saja berbuat sekuat mungkin untuk mengumpulkan harta. Orang boleh saja sekuat tenaga belajar untuk menjadi cendekiawan. Orang boleh saja sekuat tenaga meningkatkan budi agar menjadi orang yang arif bijaksana. Seluruh kegiatan itu harus diarahkan untuk membahagian orang lain. MEMBAHAGIAKAN ORANG LAIN.

Dalam Pustaka Suci Bhagawad Gita VII:12, ditemui tuntunan hidup yang sesuai dengan semangat Galungan:

Ye caiva sātvikā bhāvā rājasās tāmasāś ca ye matta eveti tān viddhi na tv ahaṁ teṣu te mayi” Artinya: “Walaupun bagaimana keadaan sifat itu, baik satwa-rajah-tamah, ketahuilah, semuanya berasal dari Aku, bukan Aku di dalam mereka, tetapi mereka didalam Aku”.

Tuhan ada di setiap ciptaan. Sifat sifat yang baik-arif-bijaksana, sifat sifat yang aktif-ptogresif-ambisus, sifat sifat loba-bodoh dan malas ada di dalam setiap manusia. Ia berkembang sejalan dengan upaya manusia itu sendiri. Seseorang yang tekun dalam pengendalian diri, melakukan tapasya, dhanam dan yajna dengan baik sesuai ajaran Weda akan mengarah ke sifat yang baik-arif-bijaksana. Orang orang satiwikasang sadhu…akan menjadi sumber kedamaian dan solusi hidup.

Pada Perayaan Galungan hari ini, semua umat Hindu adalah orang orang yang beruntung dirangkum dalam suasana damai dan gembira. Damai dan gembira hanya dicapai oleh orang orang yang mengembangkan sifat satwika.

Ketiga sifat ini tidak bisa dipisahkan dan selalu ada selama manusia hidup. Proporsinyalah yang berbeda dari satu orang dengan orang lainnya, apakah satwa, atau rajah atau tamah yang mendominasi sifat seseorang. Namun dengan adanya perayaan Galungan, Umat Hindu dapat mengembangkan sifat satwika ini, karena rangkaian perayaan Galungan dirancang penuh dengan upaya upaya pengekangan keinginan dan pengendalian indera indera. Selamat merayakan Galungan. Semoga semua beriktiar untuk membuat orang lain bergembira (agawe sukaning wong len).

Om Santih Santih Santih Om.

Kendari, 16092020/3.39

Unaaha, 17 September 2020 (INS)

Berhasil Mengendalikan Indera Mencapai Kebahagian

 

Berhasil Mengendalikan Indera Mencapai Kebahagian

Oleh: Puspajyothi

 

Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Puspajyothi

Om swastyastu,

Semoga semua mahluk berbahagia

Tradisi atau adat sebuah komunitas memberikan ciri spesifik dari bangsa itu. Tradisi dimanapun dijaga dan dilestarikan oleh pendukungnya, tidak terkecuali umat Hindu. Tradisi praktek keagamaan dari setiap komunitas dilaksanakan dengan penuh suka cita, lascarya dan penuh kegembiraan.

 

Setelah kemarin telah melaksanakan persembahyangan bersama keluarga di sanggah pemerajan, panti, dadia dan kahyangan tiga serta pura pedharman dan lainnya, hari ini umat Hindu bergembira “Nyurud Lungsuran”. Berbagai penganan misalnya tape masih terasa manis dan sedikit panas, berbagai menu misalnya tum masih segar dikunyah. Ibu-ibu membuat kue-kue lungsuran dicampur dengan pisang dan lainnya menjadi kue yang lesat. Di wantilan atau balai banjar anak anak muda (teruna-teruni) membuat pasar raya, dan ada pementasan seni. Orang orang berkunjung ke rumah rumah saudara dan handaitulan untuk melakukan simakrama. Mengucapkan salam keselamatan, memaafkan dan meminta maaf. Sungguh kedamaian berada dalam genggaman dan dunia nampak harmonis.

 

Dunia nampak baru dan bersih. Hawa terasa sejuk, angin mendesir mengantarkan rasa damai. Hati dipenuhi rasa syukur atas keberhasilan mengendaliakn diri membuat orang orang lain bergembira. Dalam hati membuncah perasaan senang yang memancarkan kedamaian dan senyum kepada setiap mahluk.

 

Pemujaan selalu mendatangkan kebahagian baik lahir dan batin. Hanya umat Hindu yang tekun melakukan sadhana pengendalian diri yang mampu mancapai kenikmatan dan kebahagian yang sejati, yang hanya dicapai oleh mereka yang memegang teguh kebenaran.

 

Dalam Bhagawad Gita VI:21, dapat dilihat tuntunan hidup sebagai berikut:

Sukham ātyantikaṁ yat tad buddhi-grāhyam atīndriyam vetti yatra na caivāyaṁ sthitaś calati tattvataḥ”Artinya: “Ketika Jiwa mengalami kebahagiaan tertinggi yang (berasal dari dirinya sendiri, dan) melampaui segala kenikmatan indra, bahkan segala kenikmatan yang dapat diperolehnya lewat intelegensia, maka ia akan berpegang teguh pada kebenaran, dan tak tergoyahkan lagi oleh tantangan seberat apa pun”

 

Runtunan Hari Raya Galungan merupakan ruang untuk belajar dan melaksanakan pengendalian indera dan pengekangan pikiran, dan umat Hindu telah berhasil melampauinya. Keberhasilan hari ini menjadi modal untuk mencapainya lagi pada enam bulan berikutnya, bertemu lagi dalam acara yang sama: mengendalikan indera dan pengekangan pikiran untuk membuat orang lain Bahagia  lewat rangkaian kegiatan Galungan.

 

Semoga seluruh keinginan untuk mencapai kehidupan yang makmur dan sejahtera dicapai oleh semua manusia,

 

Om santih santih santih Om.

Kendari, 17092020/ 4.21

Unaaha, 17 September 2020 (INS)

Minggu, 13 September 2020

“Renungan: Menemu Kenali Titik Temu Rasa Kehinduan”


“Renungan: Menemu Kenali Titik Temu Rasa Kehinduan”
Oleh : Mendrajyothi (INS)
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Mendrajyothi
Om swastyastu,

Kehidupan keagamaan masyarakat Hindu sampai saat ini yang paling banyak disoroti bahkan oleh masyarakat Hindu itu sendiri, adalah pelaksanaan ritus atau ritual keagamaan Hindu. Terjadinya stagnasi yang hanya pada sorotan fisik matrial dari ritual keagamaan Hindu, ditandai oleh wacana dimana kerap kali pelaksanaan dari ritual itu dikaitkan dengan kondisi ekonomi masyarakat Hindu dan kondisi yang lainnya. Bahkan tidak hanya sampai di situ, pelakasanaan ritual keagamaan Hindu secara fisik matrial kerap kali pula dipermasalahkan dengan tampilannya yang berbeda-beda antara daerah dan atau etnis yang satu dengan daerah dan atau etnis yang lainnya sebagai sesama pemeluk Hinduisme, pada konteks ini bila terjadi ritual keagamaan Hindu pada sebuah daerah dan atau etnis tertentu dianggap sebagai sebuah gerakan yang revolusioner terhadap sebuah tradisi adat istiadat yang telah mentradisi secara turun-temurun di dearah dan atau bagi etnis itu. Istilah ‘Indianisasi, Jawanisasi, Balinisasi, dan lain-lain, yang digulirkan dan dimunculkan sejak dulu sampai sekarang, adalah sebagai wujud telah terjadi rasa ‘isasi’ yang berkecamuk dalam diri masyarakat Hindu di Nusantara khususnya, baik secara personal maupun secara kelompok pada komunitas daerah atau etnis itu. Upaya untuk menemukan titik temu dari sorotan dan permasalahan yang mengemuka itu pun telah dilakukan oleh para bramanacarya ataupun para cendekia baik pribadi sebagai pemerhati maupun secara kelembagaaan yang diberikan kewenangan untuk mengatur tatatan kehidupan keagamaan Hindu,  agar tercipta moderasi di intern masyarakat Hindu yang berlandaskan satyam, siwam, sundaram. Konsep ‘desa, kala dan patra, konsep kuantitas ‘nista, madya, utama, dan konsep kualitas, yaitu satwika, rajasika dan tamasika dari pelakasanaan ritual keagamaan Hindu dibumikan ditengah-tengah masyarakat Hindu, dengan tujuan agar ada standarisasi fisik matrial secara kuantitas maupun kualitas.

Sebagai umat Hindu semestinya sorotan ataupun pembahasan atas sebuah permasalahan yang ditimbulkan dari pelaksanaan ritual keagamaan Hindu itu, tidak hanya diarahkan ataupun berkutat pada dimensi fisik matrial dari pelaksanaan ritual itu. Karena faktanya sampai saat ini, pelaksanaan ritual keagamaan Hindu masih tetap eksis walaupun tetap menjadi sorotan dalam pelaksanaannya bagi generasi postmodern ataupun generasi milenial saat ini, bahkan sudah menjadi komoditi politik hegemoni teo geneologis, teo etnologi, teo ideologis, serta bisnis agama pun keimanan/kepercayaan bagi kaum misionaris.

Pada tulisan ini, bukan untuk membahas hal-hal yang masih berkutat pada pembicaraan fisik matrial ritual keagamaan Hindu seperti yang dikemukakan tersebut, melainkan mencoba menemukenali apa yang menjadi landasan atau matra, bahkan apa yang menjadi kebutuhan hidup bagi masyarakat Hindu untuk tetap melakukan ritus/ritual keagamaan Hindu itu. Tulisan ini mengajak sejenak, untuk tidak menyoroti ataupun memepermasalahkan ritus atau ritual keagamaan Hindu yang dikaitkan dengan hal-hal seperti; kearifan lokal daerah dan atau etnis, mazab, sekta, sampradaya, parampara, aguru-guron, clan, wangsa, dll, terlebih hal-hal yang berkaitan dengan cibiran ‘menjelimet-ribet, pemborosan, memiskinkan, menghabiskan waktu, dan lain sebagainya, bahkan sampai pada cibiran karena ritual masyarakat Hindu terlalu banyak libur dan tidak bisa bersaing dengan SDM pengangut agama yang lainnya dilingkungan dunia kerjanya. Aahh.., apa memang benar demikian...?.  

Sesuai dengan tema yang diangkat dalam tulisan ini, yaitu ‘Menemukenali Titik Temu Rasa Kehinduan”. Tema ini diangkat, dimotivasi oleh dimana sampai saat ini tidak sedikit yang melakukan pergerakan melebel identitas kehiduannya sesuai dengan tradisi keagamaan yang dilakukan oleh sebuah komunitas daerah dan atau etnis. Bahkan pembicaraan justru sudah mengarah pada sebuah sikap bahwa;  Ini dan Itu yang dilakukan oleh aku, dia dan mereka, apakah menu hidangannya dengan rasa Hindu atau tidak...?, sehingga diperlukan mencari kesamaan dan perbedaan, yaitu apakah laku keagamaan yang selama ini dilakukan benar-benar Hindu atau  tidak..?, atau memang secara teologi atau filsafat, teo-geneologis, teo-etnologi, teo-ideologis, dll, memang murni sebuah agama yang bukan Hindu atau tidak diilhami oleh ajaran Agama Hindu dengan Weda yang terkodifikasi sebagai Kitab Suci-nya. Ataukah mungkin selama ini merasa bahwa tradisi keagamaan yang dilakukannya seakan-akan tidak terakomodir dalam sebuah frame work tatanan keagamaan dan keberagamaan Hindu yang sedang berjalan..?, hanyalah dibalik pergerakan itu yang dapat menjawabnya. Terhadap hal ini, para cendekiawan Hindu terus berusaha untuk mengelaborasi nilai-nilai yang telah hidup dan berkembang dari pelaksanaan ritus atau ritual keagamaan Hindu dimanapun masyarakat Hindu itu berada. Elaborasi dengan menggunakan pendekatan Teologi-Filsafat, Arkeologi-Historis, Efigrafi-Filologi, Politik-Antropologi, dan lain-lain, yang semuanya itu memiliki semangat untuk mencari benang merah agar tumbuh sraddha bhakti terhadap rasa kehinduan itu.

Berdasarkan uraian diatas, maka sebagai bahan renungan sesuai dengan tema yang diangkat, diantaranya:

1. Lima Hukum Hindu menurut Manawa Dharmasastra, yaitu Sruti, Smerti, Sila, Acara dan Atmanastusti. Dibagian manakah dari kelima sumber hukum Hindu itu bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya yang tidak terakomodir oleh kelima hukum Hindu itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

2.   Sanathana Dharma-Waidika Dharma (Agama Hindu) di NKRI tatanan kehidupan keagamaannya terlembagakan dengan menempatkan PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu, sedangkan Negara hadir untuk memberikan payung hukum terhadap warga negaranya, yaitu Berketuhanan Yang Maha Esa sebagai pemeluk Agama atau Kepercayaan ( UUD1945 Pasal 1 dan 2). Apakah secara Teologi-Filsafat, Arkeologi-Historis, Efigrafi-Filologi, Politik-Antropologi, Teo Geneologis, Teo Etnologi, Teo Ideologis, dll, bagi masyarakat Hindu dari apapun Nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya yang tidak terakomodir oleh PHDI ataupun oleh Negara (Kementerian Agama)  sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

3.    Sanathana Dharma-Waidika Dharma (Agama Hindu) di NKRI tatanan kehidupan keagamaannya terlembagakan dengan menempatkan PHDI sebagai Majelis Tertinggi Agama Hindu. PHDI telah memformulakan tatananan kehidupan keagamaan Hindu di NKRI, di antaranya:

·  Kitab Suci Agama Hindu adalah Weda dengan kodifikasinya pun susastra sucinya. Apakah Kitab Suci yang dimiliki oleh masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Kodifikasi Weda dan Susastra sucinya itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

· Warangka atau Kerangka Dasar Agama Hindu adalah Tattwa, Susila, Upacara. Apakah Kerangka Dasar Agama Hindu yang ditetapkan itu bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya, adakah yang tidak terakomodir oleh ketiga kerangka dasar Agama Hindu itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·  Tempat Suci Agama Hindu adalah diberi Nama Pura / Kuil / Sanggah,Merajan, dll, dengan segala totalitasnya seperti prosesi pendiriannya, bentuk pura dan mandala, peresmian, pemeliharaan, dll. Apakah Nama-Nama Tempat yang disucikan dan segala totalitas yang dimaksud yang dimiliki oleh masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh nama-nama tempat suci dan segala totalitas yang dimaksud itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·  Panca Sraddha dan Panca Yajna dengan segala totalitas dari kata SRAD dan DHA itu, kemudian diimplementasikan dengan Tri Kerangka Dasar (Tattwa, Susila, Acara), Catur Guru, Catur Marga, Tri Pramana, Tri Kaya Parisudha. dll. Apakah Panca Sraddha dan Panca Yajna bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Panca Sraddha dan Panca Yajna itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·   Mantra, Sloka, Puja, Seha, Gita, Yantra, Tantra, Niyasa, Banten, dll. dengan  bhisama Desa, Kala, Patra oleh PHDI. Apakah beberapa hal yang telah disebutkan tersebut  bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh Mantra, Sloka, Puja, Seha, Gita, Yantra, Tantra, Niyasa, Banten, dll. itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.

·   Wadah bersama dalam Komunitas Hindu dalam sebuah wilayah atau desa, selama ini bersama-sama dalam aktivitas agama dan keagamaannya dalam sebuah wadah bersama, diantaranya : Desa Pakraman, Paguyuban, Banjar, dll dengan segala totalitas stuktur Spiritual dan Sosialnya. Apakah beberapa hal yang telah disebutkan tersebut  bagi masyarakat Hindu dari apapun nusa dan bangsanya, sukunya, etnis, dan keaslian daerahnya,  adakah yang tidak terakomodir oleh dalam sebuah wadah bersama itu, sehingga diperlukan sebuah formula baru untuk menumbuhkan rasa kehinduan itu..?.  
·      Dan seterusnya...

Dari beberapa renungan di atas, dimanakah sesungguhnya semangat dari pergerakan menggali pun membuat formula yang baru itu..?. Pertanyaan ini diajukan pada tulisan ini, bukan sebagai bentuk anti perubahan terhadap tananan yang telah ada atau anti atas sebuah perjuangan esistensi nilai yang telah diyakini dan telah mentradisi selama ini bagi masyarakat Hindu di daerah manapun itu. Tetapi lebih pada,bahwa agar kita bersama-sama melek, bahwa tanpa membicarakan perbedaanpun sesungguhnya kita telah berbeda sejak lahir, tanpa melebel diri dengan sebuah tradisi agama pun sesungguhnya sejak lahir kita telah memiliki tradisi agama/dharma. Itulah makanya para leluhur kita telah mengikrarkan perbedaaan itu dengan sebuah sesanti : Bhineka Tunggal Ika. Pesan seshanti ini kalau kita mau menyadari bahwa pembicaraan ataupun niatan untuk merekontruksi tatanan dengan semangat keragaman dalam kesatuan bukan penekanannya pada perbedaan atau mencari perbedaan yang kemudian diangkat menjadi sebuah identitas yang berujung pada sebuah sekat, melainkan bagaimana kita dapat menyadari dan menemukenali kata ‘Tunggal Ika’. Sanatana dan Nutana telah memberikan ruang terjadinya sebuah peremajaan.

Tunggal Ika dari beberapa renungan di atas, hematnya menurut tulisan ini adalah, semua emosi keagamaan Hindu yang tercurah lewat Sraddha, Tattwa, Susila, Acara dan Sadhana Hindu melalui pendekatan samhāra, yaitu bahwa titik temu rasa kehinduan ada pada serangkaian nilai-nilai dari sejak lahir sampai meninggalkan dunia, yaitu “Penyucian, Penebusan, Penyalamatan, Pemuliaan, Penyatuan, Pembebasan dari Samsara sebuah kelahiran menuju keilahian (Satyam, Siwam, Sundaram), dengan dimensi Tri Kona sesuai ajaran Tri Hita Karana, yang kemudian Kemasan menjadi “JAGADHITA DAN MOKSA”.  


Om Loka Samastha Sukhino Bhavantu,
Om Santih, Santih, Santih Om.
Unaaha, 13 September 2020
Mendrajyothi (INS)

Sabtu, 12 September 2020

Untuk Selamat dan Bahagia, Sebutlah Nama Tuhan


Untuk Selamat dan Bahagia, Sebutlah Nama Tuhan
Oleh : Puspajyothi
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Puspajyothi
Om swastyastu,
Teriring doa keselamatan untuk semua mahluk.

Jalan makna harafiahnya adalah akses untuk menuju. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong teknik kontruksi jalan semakin baik. Aspal pada jalan tol, sebagai misal, seperti melangkah tanpa sedikitpun kerikil, nyaman dan damai. Setiap titik jalan memiliki rambu rambu. Dewasa ini melalui daring, pengemudi tidak akan pernah tersesat, karena ada navigasi digital yang disediakan di media sosial. Hidup manusia menjadi lebih mudah namun terbelengu dan terikat, bahkan ketergantungan. Semua itu kisah yang bersifat fisik (sekala). Bagaimana dengan jalan spiritual yang bersifat rohani (niskala)?

Pandangan rohani atau spiritual harus dimulai dari diri sendiri,melalui jalan yang dipilih (Catur Marga dan Catur Yoga). Jalan spiritual sangat beragam, seseorang boleh menekuni sesuai rasa dan niatnya serta pedoman dan guru (adikara). Memahami diri sendiri dimulai dari pertanyaan sederhana: “Aku dari mana?” Penggalian dari pertanyaan ini mengharuskan seseorang menjadi peneliti, yaitu meneliti diri sendiri. Meneliti diri sendiri bermakna penggalian batin, penggalian kesadaran (atmajanam), untuk tiba pada pemahaman jnanam (tentang Yang Maha Utama) dan wijnanam (ilmu untuk memahami pengetahuan).

Karena itu tujuan akhir seseorang dalam belajar Weda (Brahma Widya) adalah untuk menemukan dirinya sendiri, Sang Diri Sejati. Badan adalah tempat bersemayamnya Tuhan. Kesadaran ini mendorong seseorang itu memiliki cinta kasih tanpa batas. Cinta kasih kepada Tuhan. Tuhan tidak dapat menolak cinta kasih pemujaNya. Umat Hindu sangat beruntung, karena dikarunia anugrah pedoman hidup agar selalu mengingat Tuhan. Mengingat Tuhan boleh lewat ciptaanNya, dewa-dewa dan leluhur. Bila setiap altivitas lahir batin dilandasi pada ingatan yang kuat pada Tuhan, keselamatan sudah pasti. Namun ada hal yang lebih utama, mencapai pelanetNya (brhmaloka, waikuntha, siwaloka).

Tubuh ini seperti lumpur di dalam gelas, airnya adalah pikiran yang selalu begolak. Semakin bergolak pikiran air semakin keruh dan lumpur menyatu dengan keruh. Dibutuhkan waktu yang cukup untuk proses penjernihan. Dibutuhkan ketenangan, tanpa gejolak secara perlahan lahan. Puncak dari penjernihan adalah hening. Pada saat hening (samadhi), Tuhan akan menampakkan diriNya yang Agung.

Karena itu, umat Hindu telah menyebut dan mengingat nama Tuhan setiap saat (naimithika yajna, nitya kala yajna). Dengan melibatkan Tuhan, segela masalah telah berpindah kepadaNya. Yudistira sang dharma, tidak ingin diketahui oleh Sri Krishna bahwa mereka sedang berjudi. Yudistira malu kepada dirinya sendiri ia telah berjudi, terlebih kepada Tuhan maka ia tidak memberi tahu Sri Krihna.

Tuhan mengetahui segalanya, apa yang dipikirkan dan apa yang tidak dipikirkan. Karena Yudistira tidak memohon karunia dan diam membisu maka kehancuran diterimanya. Dewi Drupadi yang suci kekasih Tuhan, memohon pelindungan, kasih Tuhan tiba dengan sari yang tiada pernah habis. Tuhan telah membalas cinta kasih Dewi Drupadi ketika merobek sarinya )sebagai persembahan) untuk paduka Sri Krishna ketika melentikkan Cakra Sudarsana untuk membunuh Raja Cedi Sisupala. Adalah wajib bagi umat Hindu selalu menyebut dan mechantingkan nama Tuhan, untuk keselamatan diri sendiri dan alam semestha.

Dalam Pustaka Suci Bhagawad Gita VIII.7 dapat kita temukan tuntunan:
Tasmāt sarveṣu kāleṣu mām anusmara yudhya ca mayy arpita-mano-buddhir mām evaiṣyasy asaṁśayaḥ” Artinya: “Karena itu, kapan saja ingatlah kepadaKu selalu, dan berjuanglah terus maju, dengan pikiran dan pengertian tetap padaKu, engkau pasti akan sampai kepadaKu”

Tuhan telah berjanji, siapapun yang mengingatNya, akan tiba padaNya. Kalimat ini mengandung makna lahiriah dan batniah. Secara lahir dalam kehidupa ini seseorang akan berjalan di jalan dharma, kebenaran sejati, yang mengantarkan pada kebahagian. Secara batiniah, pahala dari perbuatan baik akan menempatkannya paa pelent ruang yang bagus (brahmaloka, waikuntha atau siwaloka), sebelum lahir kembali ke dunia dengan wujud yang lebih baik atau mungkin abadi menyatu denganNya (moksa).

Ketika Praladha disiksa oleh ayahnya Hiranyakasipu (raja Asura yang perkasa) karena terus menerus memuja Sri Wisnu, Praladha tidak merasakan sakit atau mati ketika dinjak gajah. Ribuan gajah yang menginjak injaknya tidak membuatnya menderita rasa sakit. Dengan menyebut nama Tuhan dengan penuh cinta kasih dan kerinduan yang mendalam, Tuhan telah mengambil alih derita Praladha. Teruslah chantingkan nama Tuhan, mulai dari memuja leluhur dan ista dewata agar menemukan kebahagian hidup.
Semoga semua mahluk berbahagia.

Om Santih Santih Santih Om.
Kendari, 13092020/5.13
Unaaha, 13 September 2020

Jumat, 11 September 2020

Untuk Bahagia Harus Iklas Melepaskan


Untuk Bahagia Harus Iklas Melepaskan
Oleh : Puspajyothi
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Puspajyothi
Om Swastyastu,
Doa kami untuk keselamatan  dunia dan segala isinya.

Ketika hujan turun membasahi bumi, tanaman nampak segar dan tumbuh dengan baik. Petani tersenyum karena berharap akan penen melimpah. Di sisi lain seseorang yang sedang menjemur pakaiannya mengumpat karena basah. Sopir ojol mengeluh masukan sedikit karena penumpang berkurang. Penjual es di taman berharap hujan segera reda, sebab sepanjang hujan tidak akan ada orang membeli es kopyor, es teller, es dawet dan lainnya. Tuhan nampak sibuk dan kelelahan, para dewa kebingungan, para leluhur gelisah memenuhi doa dan permohonan manusia yang beragam. Sesungguhnya Tuhan pertama dan terakhir menciptakan hukum (rta) setelah itu hanya mencatat: perbuatan yang baik (subhakarma) dan yang buruk (asubhakarma). Untuk suatu saat dijadikan rujukan menerimakan hak hak manusia.

Mengapa manusia mementingkan dirinya sendiri? Karena ia sangat mencintai miliknya. Sangat mencintai apa yang dianggap miliknya. Sepanjang hidupnya ia gunakan untuk mencari sesuatu yang dapat manusia anggap sebagai milik. Misalnya harta, kekayaan, ilmu, uang, kemasyuran, menantu, cucu dan lainnya. Semua adalah kehendak memiliki. Keinginan kuat untuk memiliki inilah yang menumbuhkan kebingungan, marah, irihati, dengki dan akhirnya menderita dan sesat. Bila keinginan untuk memiliki ini semakin kuat, seseorang akan mulai menganggu orang lain. Dunia dan harmoni sosial pasti akan kacau.

Namun, para pemuja yang setia umat Hindu sangat beruntung! Mengapa? Karena umat Hindu memiliki tuntunan hidup yang sempurna untuk menghindarkan diri dari “sapta timira” (peteng pitu). Tuntunan yang mengantarkan umat Hindu mencapai kebahagian.

Dalam Pustaka Suci Bhagawad Gita XIV:24, dapat ditemukan ajaran untuk menuntut umat Hindu mencapai kebahagian itu:

Sama-duḥkha-sukhaḥ sva-sthaḥ sama-loṣṭāśmakāñcanaḥ tulya-priyāpriyo dhīras tulya-nindātma-saṁstutiḥ” Artinya: “Ia yang memandang sama terhadap suka dan duka yang teguh pendiriannya, yang memndang sama terhadap segumpal tanah, sebongkah batu, dan sekeping emas, yang tetap tabah di tengah tengah hal hal yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, yang pikirannya mantap,yang memandang sama pujian maupun cacian”.

Untuk mendapatkan kebahagian yang pertama harus dilakukan seseorang adalah belajar melapas dengan iklas. Bahwa segala sesuatu yang namanya milik suatu saat akan berakhir.Bahwa semua pada akhirnya sama. Mobil baru mewah yang dibanggakan suatu saat out of date. Rumah bagus yang dimiliki tanpa diketahu kapan saatnya bisa terbakar, hancur karena gempa dan banjir. Istri cantik dan anggun disaat muda akan keriput pada saatnya. Anak anak yang dimanja saat masih kecil, suatu saat akan meninggalkan karena membentuk keluarga baru. Akhirnya ketika saatnya tiba: menghadap kematian, tidk ada satupun harta berteriak untuk ikut. Seseorang akan sendiri. Namun bila seseorang memiliki kesadaran akan dirinya, ia tetap berbahagia.

Umat Hindu terus mengembangkan secara perlahan lahan sikap yang tabah, tenang untuk menuju damai. Dengan cara selalu sadar dan terus mendekatkan diri kepada Yang Maha Sejati, Hyang Widi Wase, serta megikuti petunjukNya.


Semoga semua mahluk berbahagia
Om santih santih santih Om.
Kendari, 12/09/2020/03.22
Unaaha, 12 September 2020

Niat Untuk Bahagia Terhalang Sifat Dualisme Yang Menyesatkan


Niat Untuk Bahagia Terhalang Sifat Dualisme Yang Menyesatkan
Oleh : Puspajyothi
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kaswur Puspajyothi
Om Swastyastu.
Semoga semua mahluk selamat dan berbahagia.

Keindahan alam, dengan sinar matahari pagi yang cerah disertai hawa sejuk menciptakan pelangi panorama yang memesona. Hati siapa saja menjadi tenang dan damai. Badan adalah buanA alit dan alam semesta adalah buana agung. Buana alit tidak bisa terpisah dengan buana agung. Bila kemudian di pagi hari sinar matahAri tidak nampak, terlihat mendung menggumpal dan gelap, tiada keindahan yang nampak. Hati siapa saja kecut dan tidak bergairah, panorama alam nampak menyedihkan bahkan menampakkan derita.

Begitulah kehidupan manusia pasang surut silih berganti seperti ombak di pantai. Seperti roda pedati yang terus berputar dari posrosnya, naik turun silih berganti. Menerima keadaaan ini dengan lapang, menerima dualisme ini dengan lapang adalah cermin dari kesadaran sejati. Hidup dipermainkan oleh pikiran yang aktif. Pikiran bagaikan anak monyet yang tiada pernah berhenti bergerak, tidur sekalipun. Pikiran selalu bercabang dan terus berubah ubah, yang membuat kebingungan. Dalam Pustaka Suci Bhagawad Gita VII.27 disebutkan:

Icchā-dveṣa-samutthena dvandva-mohena bhārata sarva-bhūtāni saṁmohaṁ sarge yānti parantapa” Artinya: “Wahai Arjuna, karena dibingungkan oleh pasangan yang saling berlawanan, yang muncul dari keinginan dan kebencian, semua mahluk di dunia ini menjadi tersesat, wahai penakluk musuh (Arjuna)”

Kebingungan yang berkepanjangan menciptakan penderitaan dan akhirnya kegelapan bahkan tersesat (awidya). Ada yang selalu berpasangan dalam hidup ini: suka-duka, senang-susah, sakit-sehat, sakral-provan, sekala-niskala. Dualitas ini menciptakan kebingungan. Sifat ini harus disadari dengan baik. Umat Hindu beruntung, karena ajaran Hindu menuntun umat manusia untuk terlepas dari kegelapan dengan cara mendekatkan diri kepada Tuhan (Hyang Widi Wasa) untuk memahmai diri yang sejati, melalui tiga kegiatan yaitu: (1) yajna, melakukan kurban suci sesuai dengan tuntunan ajaran Weda; (2) dhanam, mengembangkan dan melakukan dana punia (kedermawanan) kepada yang berhak memperoleh secara tulus – iklas; dan (3) thapasya, melakukan pengendalian diri dan pengekangan panca indera.

Dengan melakukan tiga hal tersebut, dan terus melakukan pemujaan sesuai dengan waktu yang ditetapkan, menyebutkan nama suci Tuhan dengan penuh takjub dan kehormatan, seseorang akan diantarkan kepada wujud yang terang (Widyajnanam). Orang orang ini, penganut yang setia, penyembah yang dilandasi cinta kasih menjadi manusia manusia yang hidupnya tenang dan damai. Mereka adalah solusi menuju keharmonisan hidup, kesejahteraan umat manusia.

Semoga tiada halagan yang melintang dalam menjalankan hidup.

Om santih santih santih Om.
Kendari, 11/09/2020/ 7.03
Unaaha, 12 September 2020 (INS)

Kamis, 10 September 2020

Menghadapi Derita, Bergembiralah


Menghadapi Derita, Bergembiralah
Oleh : Puspajyothi
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kaswur Puspajyothi
Om Swastyastu,
Teriring doa keselamatan pada maklum seru sekalian alam.

Hidup paling indah dan menyenangkan ketika berkumpul dengan orang orang yang dicintai, tersedia benda benda materi yang disenangi, sehat dan tersedia sandang pangan papan dan uang yang cukup. Inilah harapan ideal setiap manusia dalam menjalani kehidupan. Keinginan untuk memilik rumah yang bagus. Dalam rumah yang bagus (meskipun tidak mewah) ada orang orang yang dicintai: istri, anak anak, menantu dan cucu yang sehat. Ada orang orang yang dicintai dan dihormati: orang tua, saudara, ipar dan kemenakan yang sehat. Kebahagian itu seolah berkumpul menjadi satu untuk memberikan dukungan pada semangat hidup yang besar.

Namun, kehidupan terasa tidak adil, di tengah rasa bahagia yang membuncah, tiba tiba salah seorang dari mereka harus pergi selamanya, atau salah seorang dari mereka menderita sakit. Kegembiraan dan kebahagian hilang seketika. Ketika rumah bagus itu luluh lantak dilalap api, tidak tersisa, dada seseorang terasa pecah dan air mata menitik bahkan mengalir deras. Sungguh
Suka dan duka silih berganti. Agama sebagai pedoman hidup, kadangkala tidak berguna pada saat demikian. Hati menjadi kacau dan hancur. Permainan pikiran menambah kalut karena berbagai khakawatiran muncul. Mengapa derita ini muncul tiba tiba dan pada saat yang membahagiakan? Tiada lain karena selama berbahagia seseorang lupa menderita. Pikiran seluruhnya terfokus pada kebahagiaan. Demikian juga ketika rasa sedih itu datang, pikiran hanya pada kesedihan itu, bahkan lupa bahagia.

Berapa tahunkah seseorang bahagia dalam hidupnya? Dan, berapa tahun pula seseorang menderita dalam hidupnya. Seperti perputaran roda dalam as, selalu sempat di atas dan selalu sempat di bawah, bahkan samping kiri dan kanan. Hidup sesungguhnya permainan menyeimbangkan antara yang baik dan yang buruk, antara benar dan salah, antara gelap dan terang. Orang orang yang mampu dalam posisi “tenang”, karena mentaati pedoman hidup yaitu agama. Umat Hindu diajarkan untuk selalu sadar, untuk selalu mengendalikan indera indera dan pikiran. Selalu diajarkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan (Hyang Paramakawi).

Arjuna sebuah contoh yang bagus. Ia meragukan kebenaran yang diajarkan guru gurunya, karena ia harus membunuh dan bahkan ia harus menahan diri atas penghinaan Duryodana dalam sabha di paseban. Untunglah Arjuna masih sempat bertanya kepada penuntunnya; mana yang benar? Jawaban sederhanya adalah setiap orang harus melakukan swadharmanya dengan baik.

Jawaban yang diperoleh Arjuna adalah seseorang harus tetap bekerja (karma) dan melaksanakan tugas dengan baik (swadharma). Demikian juga seseorang bila melaksanakan tugas dengan baik akan terhindar dari derita mencapai kebahagian. Bila seseorang takut lapar maka ia harus menyediakan pangan untuk keluarganya. Bila seseorang sakit harus menyiapkan obat untuk penyembuhan. Orang yang bekerja dengan tekun akan terus bahagia.

Namun hidup tidak sesederhana seperti membalik tangan. Hidup memiliki dimensi yang rumit. Tugas lain yang utama bukan sekedar menyiapkan sandang papan pangan, tetapi juga kecintaan kepada Tuhan, kepada para dewata, kepada para leluhur, kepada para guru suci, bahkan kepada mahluk lainnya. Lingkungan hidup manusia ini harus harmonis (Tri Hita Karana).
Dalam Bhagawad Gita XVII:14, dapat dibaca pesan:
Deva-dvija-guru-prājña-pūjanaṁ śaucam ārjavam brahmacaryam ahiṁsā ca śārīraṁ tapa ucyate”: Artinya : “Pemujaan kepada para dewa, para dwijati, guru dan orang arif bijaksana, kemurnian, kejujuran, pengendalian nafsu, dan tanpa kekerasan ini dikatakan sebagai tapah dari badan”.

Penderitaan sisi lain dari kebahagian. Diantara keduanya ada celah untuk umat Hindu belajar mengenai kesujatian, “sangkan paraning dumadi”. Bahagia tidak ada kalau tidak ada derita, demikian sebaliknya. Manfatkanlah semua momen untuk menyadari ada selalu kesempatan untuk berbenah. Seperti Sri Hanuman memanfaatkan celah antara siang dan malam untuk memantapkan pelajaran dari gurunya Dewa Surya. Hidup sesungguhnya belajar dari suka dan duka, dan mengambil sisi positifnya.

Semoga semua berbahagia.
Om santih santih santih Om
Kendari, 10/09/2020/2.15.
Unaaha, 11 September 2020 (INS)

Selasa, 08 September 2020

Kuatkan Kepercayaan Untuk Bahagia


Kuatkan Kepercayaan Untuk Bahagia
Oleh : Puspajyothi
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Puspajyothi
Om Swastyastu,
Semoga semua mahluk berbahagia.

Bila kita perhatikan kegiatan seseorang dan himpunan orang orang dalam kelompok, kelompok itu dibentuk karena kesamaan tujuan (sekehe demen). Kelompok kelompok juga terbentuk berdasarkan latar belakang lainnya. Orang orang yang suka main tenis memiliki club tenis. Orang orang yang suka main gaple dalam sebuah himpunan akan menyisihkan diri untuk membentuk kelompok beranggotakan mereka yang suka main gaple. Kelompok petinju membuat club pertina, dan lainnya.

Berdasarkan kebudayaan, disetiap kota akan ditemukan nama kampung berdasarkan latar belakang budaya, misalnya Kampung Bali di Jakarta, Kampung Jawa di Kota Denpasar, dan lainnya.

Terhimpunnya kelompok kelompok besar umat manusia, membentuk juga kepercayaan yang kita kenal di Indonesia ada pemeluk Islam, pemeluk Katolik, pemeluk Protestan, pemeluk Hindu, pemeluk Budha dan pemeluk Khong Hutzu. Belakangan diakui juga komunitas kepercayaan.

Pengelompokan berdasarkan kepercayaan ini merupakan pengelompokan paling besar sepanjang jaman. Kristen menduduki yang pertama dan kemudian Islam, diikuti Hindu. Jumlah penganut Hindu di dunia diperkirakan 1.2 milyar umat, dan di Indonesia sekitar 4 juta (BPS).

Seluruh kelompok besar ini mempercayai adanya Tuhan dan nabi, meskipun dengan sebutan nama yang berbeda. Mempunyai tujuan untuk mencapai kesejehtaraan dan kebahagian hidup manusia, bukan saja semasa hidup ini tetapi juga setelah kematian. Kelompok kelompok besar ini juga terdiri dari elemen elemen yang mempercayai sesuatu sesuai tafsir/bhasya-nya, timbullah kemudian paham dalam satu Agama. Islam sedikitnya ada 7 masad, Kristen terfragmentasi menjadi Katolik dan Protestan, Budha menjadi Mahayana dan Hinayana. Hindu memiliki keunikan tersendiri memiliki banyak Ista Dewata, memeiliki begitu banyak cara memuja (Catur Marga, Nawa Widha Bhakti), memiliki begitu banyak Rsi terutama Sapta Rsi dan menghargai dan menjunjung budaya setempat (Panca Sidiyaartha).

Hindu di Indonesia, kemudian menunjukkan kenampakan yang berbeda, namun dalam satu bingkai Hindu: Hindu Bali, Hindu Tengger, Hindu Batak, Hindu Toraja, Hindu Tolotang, Hindu Keharingan dan lainnya. Fragmentasi berdasarkan bahsya ini merupakan bunga rampai warna warni yang sangat indah dalam satu kepercayaan Hindu (diakui pemerintah).

Kepercayaan ini memiliki dasar yang kuat baik berdasarkan Pustaka Suci Sruti maupun Smerti. Kebudayaan Hindu yang dipercayai dengan sangat kuat di setiap daerah masih hidup dan terus berlangsung, tanpa ada yag menghalangi dan dilindungi pemerintah. Seluruh umat di masing masing tempat itu dengan sangat kuat memegang teguh kepercayaan itu untuk tujuan mencapai kesejahteraan atau bahagia.

Dalam pustaka suci Bhagawad Gita XVII.3, disebutkan:
Sattvānurūpā sarvasya śraddhā bhavati bhārata śraddhā-mayo’yaṁ puruṣo yo yac-chraddhaḥ sa eva saḥ” Artinya: “Kepercayaan tiap-tiap individu, wahai Arjuna, tergantung pada sifat wataknya, manusia terbentuk oleh kepercayaannya, apapun kepercayaannya demikian pulalah dia adanya”

Tugas umat Hindu di setiap wilayah tersebut adalah menguatkan kepercayaannya itu dengan terus menerus meningkatkan pemahaman dan praktik kehidupan beragama sesuai dengan budaya yang telah berkembang dan dijunjung tinggi. Menguatkan tatwa, ritual, etika dan norma. Dengan penguatan ini, umat Hindu akan tetap eksis dan umat memperoleh karuniaNya.
Semoga semua pengahalang sirna atas karuniaNya.

Om santih santih santih Om.
Kendari, 09092020:6.29.
Unaaha, 09 September 2020 (INS)

Tinggalkan Penyakit Spiritual Untuk Kemuliaan


Tinggalkan Penyakit Spiritual Untuk Kemuliaan
Oleh : Puspajyothi
 
Gbr. Desain Cover
Bija Kasawur Puspajyothi
Om Swastyastu,
Teiring doa untuk keselamatan semua mahluk dan dunia yang damai.
Dalam kehidupan manusia, ada tiga penyakit yang sulit diobati. Namun ketiga penyakit tersebut dapat disembuhkan dengan obat yang mujarab. Dalam Bhagawad Gita disebutkan, apa yang pernah ada akan tetap ada, apa yang tidak ada akan tetap tidak ada. Pesan ini memberikan pemahaman kepada umat Hindu yang diberkati Tuhan bahwa segala penyakit ada obatnya, tinggal menunggu waktu dalam menemukannya. Penemuan ini sangat terkait dengan tingkat spiritualitas seseorang. Ida Hyang Paramakawi menciptakan segala sesuatu dengan segala tujuannya.

Bila seseorang sakit fisik, seluruh badan fisik akan merasa sakit, tulang tulang terasa remuk dan seluruh gerak terasa terbatas. Dengan obat dari seorang dokter (tabib ahli) penyakit itu akan sembuh (kecuali terkait karmawasana). Jadi penyakit fisik diobati dengan berbagai ramuan ramuan yang diresepkan dokter.

Namun yang kedua, ada juga disebut penyakit mental, ada yang disebut Orang dengan Kelainan Jiwa (ODGJ) dan ada yang disebut Orang Dengan Skizofrenia (ODS). ODGJ dan ODS penyakit dalam keluarga yang sama tetapi mempunyai ciri khas masing masing. ODGJ dan ODS menurut informasi diidap oleh semua manusia. Tingkat keseriusannya tergantung dari kedalamannya. Orang orang sehat konon juga mengidap skizofrenia ringan. Ini adalah kajian kedokteran, yang dinarasikan disini hanya untuk misal saja. Karena itu, orang orang ini akan seterusnya begitu kecuali ada penanganan yang baik, ia puluh kembali.

Penyakit untuk jenis ketiga ini lebih mudah diceritakan dengan sebuah kisah. Di sebuah kota tersebutlah seorang yang kaya raya bernama Maryogha, ia gemar berderma asal disebut namanya dan bila perlu harus dibuatkan plakat sebagai penghargaan. Maryogha tidak pandang bulu, golongan manapun ia dengan sigap membantu. Di kota tersebut hidup pula seorang saudagar yang tidak kalah hebat kedermawanannya, namanya Sumanthu. Suatu hari, sebuah bangunan Kuil untuk Mansya Dewi diresmikan. Kuil itu 90 persen dibiayai dari kedermawanan Maryogha. Namun dalam peresmian itu ada kesalahan panitia tidak menyebutkan kedermawanan Maryogha dalam membangun kuil. Akibatnya Maryogha yang duduk di depan, berteriak “panitia brengsek kalian tidak menghargai orang yang sudah dengan iklas menyerahkan harta untuk pembangunan kuil ini. Kalian harus meminta maaf kepadaku”. Maryogha kemudian meninggalkan ruangan. Panitia dan hadirin panik, serta saling menyalahkan. Acara bagus itu menjadi buyar dan kacau.

Di sudut kota yang lain, sebuah kuil untuk pemujaan Dewi Laksmi sebagai dewi kemakmuran juga sedang dilakukan upacara peresmian. Panitia sudah menyiapkan acara dengan baik. Dalam sambutannya panitia menjelaskan bahwa 90 persen biaya pembangunan kuil tersebut atas kedermawanan Sumanthu. Ketua panitia menunjuk kursi di depan yang kosong dan berkata dengan lirih: “ Kami telah mengkonfirmasi kehadiran beliau namun nampaknya beliau mempunyai acara penting yang lain. Mari kita doakan beliau agar selalu sehat dan murah rejeki”. Para hadirin mengaminkan.

Tidak ada satu orangpun tahu Sumanthu yang terhormat duduk di bangku paling belakang berbaur dengan masyarakat, karena ia terlambat hadir sehingga duduk saja di kursi yang kosong, sementara hadirin asyik menonoton pagelaran yang bagus. Sumanthu tidak ingin merusak acara tersebut bila kemudian acara yang sedang berlangsung jeda hanya karena menyambut dirinya. Setelah sambutan Sumanthu kembali ke rumahnya dengan hati gembira karena kuil suci tersebut telah resmi dimanfaatkan.

Lalu apa makna kisah tersebut? Umat se dharma, umat Hindu adalah himpunan orang orang yang beruntung karena prilaku spiritualnya. Maryogha termasuk orang yang sakit spiritual, yang terkait dengan ODGJ dan ODS, sementara Sumanthu dengan tepat menempatkan dirinya dan tidak termasuk sakit spiritual, ODGJ dan ODS.

Jadi jenis penyakit ketiga adalah penyakit spiritual yang hanya dapat disembuhkan lewat bimbingan Guru Suci. Tuhan sangat menghendaki banyak orang orang seperti Sumanthu. Sikap seperti Suamnathu tidak muncul begitu saja, tetapi lewat penggalian dan penelitian batin yang mendalam yang menghasilkan tingkat spiritual yang baik. Tuhan lewat Bhagawad Gita XVI:24, berpesan:

Tasmāc chāstraṁ pramāṇaṁ te kāryākāryavyavasthitau jñātvā śāstra-vidhānoktaṁ karma kartum ihārhasi”Artinya : “karena itu, biarlah kitab kitab suci menjadi petunjukmu untuk menentukan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh, setelah mengetahi apa yang dikatakan dalam aturan kitab suci, engkau hendaknya mengerjakannya disini”.

Ajaran agama, mengajarkan dan menuntun umat Hindu menuju dan melewati jalan kebenaran (dharma). Tujuajn hidup akan dapat dicapai melalui jalan dharma dan dilaksanakan dengan penuh disiplin (yoga). Penggalian dan penelitian batin hanyalah usaha yang sia sia bila tidak menghasilkan perubahan yang besar pada sikap yang siap untuk melakukan sadhana di jalan dharma dan yoga.

Semoga semua mahluk berbahagia.
Om santih santih santih Om
Kendari, 08092020: 5.27.
Unaaha, 07 September 2020 (INS)